Bagian 06

243 43 17
                                    

Jangan lupa vote komennya!


Malam ini seperti biasa Dewi menghabiskan waktunya untuk belajar, dia mematikan data ponselnya. Pertama Dewi mengutamakan mengerjakan tugas atau PR, setelah selesai, barulah dia mempelajari lagi beberapa pelajaran yang diajarkan saat di sekolah.

Tiba-tiba saja ponsel Dewi berdering, itu sebuah panggilan seluler biasa. Saat Dewi mengambil ponselnya untuk melihat siapa yang menelponnya, sampai menggunakan panggilan seluler. Ternyata itu panggilan dari Calvin, seketika perasaan Dewi menjadi sedikit bimbang. Dia sudah bisa menebak kira-kira apa saja yang akan sahabatnya itu bicarakan. Rasanya Dewi enggan mengangkat telepon dari Calvin, pasti pembicaraan Calvin nantinya akan merusak moodnya.

“Angkat gak, ya?” Dewi terus memegangi ponselnya yang bordering.

Karena kelamaan berpikir, pada akhirnya panggilan itu berhenti. Dewi merasa lega, tapi baru juga menghela napasnya sebentar, tiba-tiba saja ponselnya berdering lagi. Rupanya Calvin tidak menyerah untuk menghubunginya, sudah pasti ini hal penting.

“Paling juga dia mau cerita kalau dia udah jadian sama Gita. Huftt, saatnya jadi badut lagi, siapin hati dan kuping.” Dewi mencoba mengatur hatinya sendiri, biarlah dia munafik, mau bagaimana lagi. Terkadang manusia tidak menginginkan untuk bersikap munafik, tapi kalau keadaan memaksanya, mau bagaimana lagi.

“Hallo, Calvin.” Dewi mengangkat panggilan teleponnya dengan nada yang diusahakan biasa.

“Kok baru diangkat sih, tadi ke mana?” tanya Calvin

“Sorry, tadi gue lagi di kamar mandi, ada apa?” ujar Dewi terpaksa berbohong.

“Wi, gue udah jadian sama Gita tadi. Awalnya gue nekad aja nembak dia, ternyata diterima!” pekik Calvin, dari nada suaranya terdengar begitu bahagia. Sudah biasa bagi Dewi mendengar tentang kabar jadian Calvin, ini bukan pertama kalinya. Hanya saja, khusus kasus ini berbeda, yang jadian dengan Calvin adalah sahabat Dewi sejak SMP.

“Selamat! Jangan lupa pajak jadiannya.” Dewi tersenyum kecut sambil terus berusaha membuat intonasi senormal mungkin.

“Tenang aja, beres!”

“Vin, sorry nih, gue mules, gue mau ke kamar mandi dulu.” Dewi memilih untuk mengakhiri pembicaraan ini, dari pada harus terus-terusan menahan diri dan menyakiti hatinya lebih lagi. Sekarang prinsip Dewi adalah menyayangi dirinya sendiri, menjaga hati dan moodnya sendiri, serta berusaha menjauhi hal-hal yang nantinya membuatnya sedih.

“Lo diare? Udah minum obat belum?” nada suara Calvin terdengar cemas.

“Gapapa kok, mules biasa aja, gak perlu sampai minum obat segala.” Dewi kebingungan sendiri menjawabnya, dia tidak mau berbohong kalau dirinya mengalami diare. Dewi trauma berbohong tentang sakit, dulu saat sekolah dia pernah berbohong kalau dirinya sakit hanya karena benar-benar ingin libur. Tapi siapa sangka beberapa hari kemudian dia langsung sakit sungguhan. Sejak saat itu dia tidak mau

“Lo habis makan apa sih? Kok bisa mules-mules gitu.”

“Mungkin karena tadi sore gue lomba pedes-pedesan makan sate sama Azfa kali.” Dewi tidak berbohong untuk yang satu ini, tapi dia memang suka pedas. Paling biasanya efek dari makan pedas baru Dewi rasakan keesokan paginya.

“Azfa? Lo kok bisa makan bareng Azfa?” tanya Calvin terdengar bingung dan penuh selidik.

“Iya, tadi kebetulan dia nganterin gue pulang dan kita beli sate yang di pertigaan sebelum rumah gue. Terus Azfa makannya di rumah gue. Karena kita berdua sama-sama suka banget makanan pedes, jadilah kita taruh sambelnya banyak.” Dewi menjelaskan dengan jujur apa yang terjadi tadi sore bersama Azfa.

“Kok, Azfa, nganterin lo pulang sih? Bukannya rumah dia berlawanan arah sama lo? Dalam rangka apa dia sampai mampir numpang makan di rumah lo?” ujar Calvin mengajukan banyak sekali pertanyaan, dari nada suaranya terdengar kalau Calvin nampak tak suka.

“Ya, gapapa, dia kan sahabat gue juga. Udah deh, gue mau ke kamar mandi.” Dengan malas Dewi mematikan panggilan telepon dari Calvin.

“Huh, ke kamar mandi deh, jadi itungannya gue gak bohong karena beneran masuk kamar mandi.” Dewi memutuskan pergi ke kamar mandi, walau di sana ia hanya mencuci muka serta gosok gigi saja sebelum tidur.

***

Pagi ini Dewi sedang memakan sarapannya seperti biasa, kedua orangtuanya sudah bersiap untuk berangkat kerja lebih dulu karena kebetulan di toko milik ibunya sedang bayak hal yang harus dikerjakan.

“Wi, mama sama papa berangkat dulu,” ujar mamanya.

“Iya, hati-hati, Ma, Pa.” dewi menyalami kedua orangtuanya.

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

“Hufttt, gue harus buru-buru berangkat nih, soalnya udah gak ada tebengan yang jemput lagi. Pesen ojol apa naik angkot aj,a ya, enaknya? Hmm, naik angkot aja deh yang murah. Meski harus jalan kaki dulu lumayan jauh, tapi gapapa deh, anggap aja olah raga.” Dewi berbincang dengan dirinya sendiri.

Tin…. tin….

Terdengar bunyi klakson mobil di halaman rumahnya, Dewi jadi bertanya-tanya, siapakah gerangan yang datang. Atau mungkin mobil milik saudara tetangganya Dewi yang numpang parkir.

“Wi,” panggil sebuah suara yang dikenalnya.

“Kaya suara Calvin, ah, tapi mana mungkin itu dia. Pasti sekarang Calvin lagi jemput Gita ke rumahnya. Duh, apa gue jadi gila sampai-sampai ngehalu denger suara Calvin? Atau mungkin ini efek kebiasaan denger suara dia pagi-pagi.” Dewi bergumam sendiri.

“Wi, sorry, gue langsung masuk aja, habisnya lo dipanggilin dari tadi gak nyaut-nyaut!” ujar Calvin yang kini sudah berdiri di depan Dewi. Saking kagetnya, gadis itu sampai mencubit lengannya sendiri untuk memastikan apakah yang dilihatnya halu atau nyata. Ternyata rasanya sakit, berarti ini bukan halu, tapi sosok yang di depannya memang benar-benar Calvin.

“Vin, kok lo ada di sini?” tanya Dewi

“Ya, emang kenapa? Kan biasanya setiap pagi juga gue jemput lo ke sini. Oh, iya, gimana kondisi perut lo, udah mendingan?” Calvin terlihat penasaran.

“Iya, udah mendingan kok!” jawab Dewi.

“Syukur deh, gue dari tadi sempet kepikiran, takut perut lo masih bermasalah dan akhirnya gak masuk sekolah.” Calvin terlihat menghela napasnya lega, saat pertama datang tadi Calvin memang terlihat begitu cemas dengan keadaan Dewi.

‘Dew, lo gak boleh baper, Calvin bukan perhatian sama lo, dia cuma sedikit peduli sama keadaan lo karena udah sahabatan sejak kecil. Inget, sekarang Calvin pacarnya Gita, sahabat lo juga. Jangan sampai persahabatan lo sama kedua orang itu hancur hanya karena perasaan baper ini.’ Di dalam hatinya, Dewi menasehati dirinya sendiri untuk tidak baper.

“Kok lo ke sini sih, Vin? Bukannya jemput Gita,” tanya Dewi

“Habis ini gue jemput Gita kok, kan sebelum ke rumah Gita, gue ngelewatin gang rumah lo.” Calvin menjelaskan.

“Hah? Maksudnya gimana?” Dewi cengo, dia belum tahu kalau sekarang Calvin berangkat sekolah menggunakan mobil barunya.

“Sekarang gue ke sekolah bawa mobil, itu mobilnya udah sebulanan yang lalu sih dibeliin sama bokap gue sebagai hadiah ulang tahun. Jadinya gue tetap bisa kasih tebengan sama lo walau gue harus jemput Gita!” ujar Calvin menjelaskan.

Sontak Dewi ke luar dari rumahnya, ia melihat mobil mewah berwarna merah. Terlihat mobil itu begitu mewah dan berkilau, pasti harganya sangat mahal. Dewi tahu kalau sekarang orangtua Calvin semakin kaya, apalagi papanya Calvin sudah membuka perusahaannya sendiri. Jadi wajarlah kalau Calvin sampai dibelikan mobil mewah.

Antara Cinta Dan Takdir (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang