Cinta pertama? Jatuh cinta pada sahabat sendiri? Itulah yang dialami oleh Dewi.
Dia mencintai Calvin, sahabatnya, secara diam-diam. Alasan Dewi hanya bisa mencintai dalam diam tentu saja klise, dia tidak ingin merusak persahabatan yang sudah terjali...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Tiba-tiba saja Calvin main ke rumah Dewi saat hari minggu, padahal biasanya Calvin pasti kalau sedang libur akan jalan-jalan bersama pacarnya.
“Wi, gue putus.” Calvin terlihat galau, Dewi sudah terbiasa menjadi tempat curhat untuk hal begini.
“Kenapa?” tanya Dewi santai, dia tidak mau memasang kepura-puraan untuk turut sedih dan sebagainya, baginya berpura-pura baik-baik saja saat hati terluka saja sudah berat. Dia bukan aktris FTV yang bisa luwes dan jago berakting, setidaknya Dewi berusaha keras untuk memberikan bahu untuk bersandar dan telinga untuk mendengar.
“Tadinya gue udah tahan-tahanin sama sifat dia yang matre, gue pikir itu wajar selama gue ada uang. Gue sering bela-belain nabung uang jajan gue buat beliin apa yang dia mau, sampai seringnya gue harus merelakan apa yang sebenarnya pengin gue beli. Tapi ternyata dia gak ada puasnya, gue baru tahu kalau dia pacaran sama orang lain yang jauh lebih kaya dari gue di sekolah barunya.” Terlihat sekali kekecewaan Calvin begitu besar.
Mendengarnya saja Dewi ikut kesal, kenapa bisa-bisanya ada perempuan setidak tahu diri itu. Menyia-nyiakan cinta tulus dari seseorang hanya demi uang, Dewi benar-benar tidak habis pikir.
“Jahat banget dia, sabar Vin, berarti dia bukan yang terbaik buat lo. Bersyukur belangnya ketahuan sebelum kalian terlalu lama pacaran. Coba kalau gak ketahuan, kalian berpacaran lama, tapi ternyata di belakang dia main curang. Gue yakin kok, ketulusan lo nantinya akan sangat berharga di mata perempuan yang tepat. Perempuan yang mencintai lo dengan ketulusan juga, lo kan masih muda banget, anggap saja ini luka masa muda. Kalau sudah dewasa nanti akan beda ceritanya, kebanyakan ketika sudah dewasa seseorang menjalin hubungan dengan tujuan untuk menikah.” Dewi selalu memberikan dukungan pada temannya.
“Wi, makasih banget lo udah selalu ada buat dengerin semua cerita gue.” Calvin memeluk erat Dewi, memang sejak kecil mereka sudah biasa berpelukan, atau melakukan kontak fisik seperti merangkul, dan menggendong. Tapi bagi Dewi yang sekarang, ini sangat berbahaya untuk hatinya. Dia tidak mau Calvin tahu kalau dadanya berdetak begitu cepat karena berdekatan dengan pria itu.
“Lepas, risih tau dipeluk-peluk!” Dewi berusaha mendorong Calvin untuk melepaskan pelukannya, sebelum hatinya semakin terhanyut akan rasa aneh yang menjalar seperti kupu-kupu yang beterbangan dalam dadanya.
“Lo mah gitu, gak ada kasihannya sama sekali setiap gue putus!” kesal Calvin sambil melepaskan pelukannya.
“Setidaknya gue selalu jadi tempat curhat lo tuh setiap saat, biarpun gue gak bisa menghibur sedemikian rupa. Setiap lo curhat tentang jatuh cinta, pacaran, berantem, bahkan putus, yang siklusnya selalu itu-itu aja. Pada saat itu gue selalu menjadi pendengar yang baik!” ujar Dewi malas.
‘Udah gak keitung lagi hancur leburnya hati gue karena lo, Vin. Setiap lo jatuh cinta sama cewek lain, setiap lo berjuang keras untuk cewek lain, dan setiap lo patah hati karena cewek itu nyakitin lo. Gue adalah orang yang paling terluka, gue selalu berpikir kalau seandainya cewek itu adalah gue, gue pasti gak akan sia-siain lo kaya mereka.’ Dewi hanya bisa tersenyum getir.
“Iya juga sih, makasih banyak deh sahabat cewek satu-satunya gue. Emang lo yang terbaik sejak dulu, kata siapa cowok sama cewek gak bisa sahabatan dengan tulus tanpa menyimpan perasaan, kita buktinya kalau cewek dan cowok bisa sahabatan tulus bahkan sejak kita masih kecil.” Calvin terlihat bangga.
‘Lo salah, Vin, pepatah itu memang benar adanya. Dan sialnya gue yang harus menyimpan rasa satu arah ini tanpa bisa gue buang sesuka hati.’ Dalam hatinya, Dewi memprotes ucapan Calvin.
“Kenapa cuma lo satu-satunya sahabat cewek gue? Alasannya karena emang gue nyamannya sama lo doang. Gue pernah punya temen baik, dia cewek, kita satu kelas saat SMP selama dua tahun. Gue pikir persahabatan gue sama dia bakal kaya persahabatan kita yang langgeng tanpa adanya keterlibatan perasaan yang pada akhirnya merusak semuanya. Tapi ternyata dia punya modus tertentu buat deket sama gue sebagai sahabat, dia suka sama gue, bahkan dia nembak gue. Padahal gue sama sekali gak ada perasaan sama cewek itu, gue bener-bener anggep dia sebagai teman doang. Sejak saat itu dia jauhin gue karena gue gak bisa bales perasaannya, ternyata gak ada yang setulus lo dalam bersahabat sama gue!” ujar Calvin panjang lebar.
Deg!
Batin Dewi merasa tertampar, dia merasa malu dibilang setulus itu dalam persahabatan mereka tanpa melibatkan perasaan. Padahal yang sebenarnya dia juga sama dengan cewek yang diceritakan oleh Calvin tadi, Dewi juga menyimpan perasaan secara diam-diam pada sahabatnya itu. Kalaulah Calvin tahu tentang perasaannya, bisa jadi dia akan menjauhi Dewi.
‘Gue harus lebih pinter lagi buat nutupin perasaan ini, kalau sampai Calvin tahu pasti persahabatan kami yang sudah terjalin sejak kecil akan hancur. Gue gak mau itu terjadi hanya karena keserakahan gue yang pengin memiliki Calvin lebih dari sekedar sahabat. Maaf, Vin, gue gak setulus yang lo pikirkan, maaf gue munafik.’ Sesak sekali dada Dewi saat ini.
“Wi? Kok lo dari tadi bengong terus. Lo juga ada masalah? Cerita sama gue!” ujar Calvin menyadarkan Dewi dari konflik batinnya.
“Eh, gue gapapa kok, tapi maaf banget nih Vin, hari ini gue mau kerja kelompok sama temen-temen gue di sini. Kayanya sebentar lagi mereka sampai deh, lo gapapa kan?” tanya Dewi
“Iya, gapapa, santai aja. Apa gue pulang aja? Takutnya gue ganggu kalian kerja kelompok.” Calvin merasa tidak enak hati kalau sampai mengganggu kenyamanan teman-teman Dewi yang akan melakukan kerja kelompok di sana.
“Assalamualaikum, Dewi,” panggil beberapa teman Dewi yang ternyata sudah sampai di depan pintu rumahnya. Mereka adalah Yulia, Kohar, Gita, Azfa, dan Muthe.
“Waalaikumsalam, sini masuk!” Dewi membukakan pintu untuk teman-temannya dan menyuruhnya masuk.
“Wah, ada siapa tuh? Kalian lagi pacaran, ya?” goda Kohar seperti biasa.
“Lo kan udah gue kasih tahu kalau Calvin itu adalah sahabat gue sejak kecil, wajarlah kalau dia main ke sini. Dulu dia tetangga gue sebelum akhirnya pindah rumah.” Dewi menjelaskan agar teman-temannya yang lain bisa paham.
“Kamu Calvin yang dulu pas SMP ikut lomba matematika antar sekolah kan?” tanya Gita, dia memang salah satu anak yang paling cerdas soal matematika diantara yang lain. Bahkan dulu Gita sempat mewakili sekolahnya untuk ikut lomba matematika antar sekolah.
“Iya, kalo gak salah inget lo perwakilan dari sekolah Bhakti Mulia kan? saat itu lo jadi juara satu, sedangkan gue juara dua.” Calvin rupanya juga masih ingat dengan Gita. Memang benar kalau selain tampan, Calvin juga mewarisi kecerdasan ayahnya. Dulu dia pernah bertemu Gita saat lomba matematika antar sekolah.
“Jadi kamu sahabatnya Dewi?” ujar Gita tidak menyangka kalau ternyata dunia begitu sempit.
“Iya, gue gak nyangka ternyata kita sekarang satu sekolah. Kalo gak salah inget, nama lo Gita kan?” tanya Calvin
“Iya, benar.”
“Jodoh kali makanya ketemu lagi, ups!” Kohar kembali meledek.
“Gue pamit pulang dulu deh, takut ganggu kerja kelompok kalian.” Calvin berpamitan pada teman-teman Dewi.
“Eh, gak ganggu kok, ya, kan temen-temen?” ujar Yulia yang merupakan pecinta cogan, dia akan merasa senang kalau ada Calvin dan Azfa di sini. Mungkin bisa menambah semangatnya dalam belajar.
“Serius nih?” tanya Calvin memastikan.
“Iya, kamu gak ganggu kok,” jawab Gita.
“Selow aja, Bro,”
“Gue gak masalah sih,”
Pada akhirnya Calvin tetap berada di sana, setelah selesai mengerjakan kerja kelompok bersama. Pada akhirnya karena ini hari minggu dan masih banyak waktu, mereka akhirnya pergi jalan-jalan untuk nonton film di bioskop.