🈀 · ᝰ cinco ˊˎ-

540 101 16
                                    

Dirinya tidak akan pernah jatuh cinta pada Sano Shinichiro.

Ya, itulah hal yang gadis itu camkan pada dirinya sendiri. (Y/n) yang hanya pernah menerima cinta dan kasih sayang dari ayahnya mendadak mendapatkan dua hal itu dari seorang lelaki lain. Serealistis atau serasional apapun itu (Y/n), tetap saja ia merupakan seorang gadis biasa. Yang mungkin akan melanggar idealisme buatannya sendiri.

Diacak-acak surainya dengan kekesalan dan kefrustasian yang memuncak di dalam benaknya. (Y/n) merasa kesal pada dirinya sendiri. Dirinya yang bodoh dan bisa-bisanya ia malah...

Ah, sudahlah. Gadis itu terlalu malas untuk lanjut menjelaskan isi hatinya yang bodoh itu. Lihat, kini jantungnya kembali berulah. Kecepatan detaknya yang menggila sudah menjadi tanda bahwa dirinya membutuhkan psikolog dan juga psikiater.

Kedua tungkai kakinya melangkah gontai ke luar kamar. Dengan ponselnya yang masih berada di tangan, (Y/n) hendak mengambil segelas air putih dari dispenser. Namun, niatnya itu dibungkam oleh kejadian yang ada di depan matanya.

***

Siulan yang keluar dari bibirnya menandakan bahwa dirinya tengah bahagia. Sejak tadi, tangannya tak berhenti mengusap body motornya dengan lap yang kering. Tujuannya adalah untuk menyerap titik-titik air yang masih tersisa di atas motor yang baru diperbaiki itu. Memang memakan biaya dan waktu yang cukup banyak. Namun, harus lelaki itu akui bahwa ia merasa puas dengan hasilnya.

"Cieee... sepertinya ada yang lagi kasmaran."

Godaan itu terdengar oleh indra pendengaran Shinichiro. Sontak ia menoleh, lalu mendapati Emma berdiri di ambang pintu garasi. Ia bersedekap dan bersandar pada salah satu tiang penyangga.

Digoda seperti itu oleh adiknya sendiri, Shinichiro hanya tertawa. Ia juga tak akan menyangkal perkataan Emma tadi. Karena faktanya memang demikian. Tak ada gunanya ia menyanggah. Yang ada, Emma akan semakin gencar menggoda dirinya.

"Apakah hari ini Nii-chan ingin menjemput (Y/n) nee-san ke sekolah?" tanya Emma memastikan. Hanya dilihat dari air muka kakak tertuanya itu sudah jelas mengatakan demikian. Bahkan, sejak tadi bangun tidur, rona kebahagiaan itu tidak juga lenyap dari sana. Yang membuat Emma menyimpulkan seperti itu.

"Ya. Untuk hari ini, Emma pergi ke sekolah sendiri, ya," ujar Shinichiro disertai senyumannya.

Raut wajah Emma seketika berubah kecewa. Ia mendesah pelan, mengingat bahwa Shinichiro tak akan mengantarnya lagi ke sekolah. Well, Manjirou memang masih bisa diandalkan terkait dengan hal antar-mengantar ke sekolah tersebut. Namun, kakak keduanya itu sangat sulit untuk bangun di pagi hari. Bahkan, saat ini pun ia masih belum bangun dari mimpinya yang panjang.

"Ya sudahlah. Tidak apa-apa," ucapnya. Kemudian, Emma menatap Shinichiro dengan serius. "Yang terpenting, Nii-chan tidak boleh membuat (Y/n) nee-san menangis, ya! Janji?"

Seusai mendengar perkataan Emma, tawanya pun lolos dari bibir lelaki itu. Shinichiro mengaitkan jari kelingkingnya pada jari Emma. Meskipun ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak pernah melukai perasaan (Y/n), namun kala ia mendengar Emma berkata demikian, entah mengapa ia malah tertawa. Lihatlah, kini Emma bahkan lebih melindungi (Y/n) daripada dirinya yang merupakan kakak kandungnya.

"Baiklah, baiklah." Shinichiro mengacak-acak surai Emma masih sambil tertawa.

"Kau belum mencuci tanganmu, Nii-chan," ujar Emma mengingatkan. Ia menatap kakaknya itu tak suka.

Tangannya sontak ditarik menjauh. "Ah! Maaf!" Kemudian, ia terkekeh pelan.

Perbincangan itu terhenti kala ponsel di saku Shinichiro bergetar. Lelaki itu mengeluarkannya dari sana. Sebuah kurva melengkung yang terbuka ke atas terbentuk pada bibirnya. Seusai melihat nama (Y/n) tertera di atas layar ponselnya. Ia pun menyingkir dari Emma sebelum menjawab panggilan itu.

END ━━ # . 'Aphrodite ✧ Sano ShinichiroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang