[[Louis P.O.V]]
“Ini pesanan anda tuan. Selamat menikmatinya” seorang pelayan wanita memberikan pesananku dan pergi meninggalkanku saat telah melaksanakan tugasnya. Aku menghirup aroma coffee moccacino pesananku. Moccacino memang yang terbaik untukku. Dia selalu bisa membuatku tenang hanya dengan aromanya saja. Kuminumkan coffee tersebut dan sekilas aku melihat kearah luar jendela. Memang hari yang padat, padahal ini sedang akhir pekan.
“Louis oppa (Kakak)?” suara perempuan lain terdengar ditelingaku, tapi kali ini suaranya tidak terlalu asing bagiku. Aku menolehkan kepala kesamping. Dan benar saja itu dia.
“Hai. Sudah lama aku tidak melihatmu” aku menegurnya saat aku benar-benar yakin itu dia.
“Aish oppa ini, padahal kita satu sekolah tapi masih tidak pernah melihatku” dia menggembungkan pipinya.
“Haha maaf. Aku tidak sering memerhatikan sekelilingku” aku tersenyum kecut menanggapi omongannya.
“Oppa masih tidak berubah ya? Oh ya, boleh aku duduk disini, oppa?” ia melirik kursi didepanku yang kosong. Aku hanya mengganggukan kepala sebagai balasannya.
“Sedang apa kamu disini? Tidak biasanya” aku bertanya padanya sambil meminum coffee milikku lagi.
Kulihat dia mengangkat tangannya, memanggil pelayan untuk memesan makanannya. “Biasa, hanya mencari objek yang bagus untuk aku foto, hehe” ia menunjukkan kamera miliknya yang sudah ia letakkan dimeja.
“Kenapa tidak menjadi fotografer saja, Minah?” aku bertanya padanya sambil memakan cheese cake milikku. Dia adalah adik kelasku saat aku SMP dan mungkin sekarang juga. Tapi orangtuaku dan orangtuanya saling mengenal, bahkan bisa dibilang rekan bisnin Rex. Tapi terakhir aku melihatnya saat sedang ikut acara kantor Rex. Dan dia saat itu masih terlihat seperti anak kecil, berbeda dengan sekarang. Dia seperti remaja pada umumnya, namun bedanya dia sedikit tampil santai dengan pakaiannya.
“Itu bukan cita-citaku oppa. Aku ingin menjadi dokter bukan fotografer. Oh aku memesan ehm.. orange juice dan chocholate cake saja” ia meletakkan buku menu dimeja dan sibuk melihat hasil jepretan dikamera miliknya.
“Oh. Kamu masih tetap adik kecilku ya” aku mengacak-acak rambutnya. Tapi saat aku melakukan itu ekspresinya sedikit berubah, wajahnya menjadi merah. Aku tak tahu itu kenapa, padahal aku sudah terlalu sering melakukannya seperti itu. Dan hanya dengannya aku merasa sisi dinginku hilang, tidak pada Rex dan Ibuku juga.
Aku menghabiskan waktuku di cafe bersama Minah. Kami banyak bercerita tentang masa lalu, dan dia banyak bercerita tentang orang yang ia sukai. Aku merasa senang, akhirnya dia bisa menyukai seseorang. Mungkin ini aneh, tapi orangtua mereka dulu melarangnya untuk dekat dengan laki-laki lain kecuali diriku. Tapi tentu aku tidak suka diikuti, aku selalu menemukan tempatku sendiri. Ada saatnya aku akan bersamanya dan ada saatnya aku menghabisakan waktuku sendiri.
Tapi sungguh kedekatan yang aku jalani dengannya membuat orangtua Minah mengira putrinya itu mempunyai rasa denganku. Dan bahkan dia mengajukan kepada Rex akan menjodohkan putrinya denganku. Untungnya saja Rex mempercayai semua keputusanku, dia hanya berkara itu semua tergantung padaku apa aku akan menerima perjodohan itu atau tidak. Tentu saja aku menolakknya, saat itu aku masih bersama dengan Minhyuk. Bagiku Minhyuk lebih penting daripada yang lainnya. Meskipun aku akan membantah Rex sekalipun, tapi ternyata saat aku mengenal Minhyuk kepada Rex, ia hanya tersenyum dan mengatakan aku sudah tahu itu dari lama. Dan sampai sekarang pun aku tidak tahu dari mana dia tahu tentang hubunganku dengan Minhyuk.
***
Aku mengendarai mobil milikku dengan kecepatan sedang. Tapi tiba-tiba saja ada seorang pejalan kaki yang melewati jalan padahal banyak kendaraan yang sedang berlalu-lalang. Untungnya aku sempat mengerem mobilku, jika tidak mungkin dia sudah mati disini. Aku turun dari mobil dan melihat siapa sebenarnya orang itu. Dan ternyata itu jika tidak salah salah satu siswa satu sekolah denganku. Dia termaksud siswa yang cerdas dan maka dari itu aku bisa tahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love is Hurts {BoyxBoy-LGBT}
Non-FictionAku mendengar suara dentingan piano dari ruang musik. Merdu! itu yang kufikirkan. Saat aku melihat siapa yang memainkan piano tersebut, aku terpeson amelihat mata hitam lekat miliknya. Dia bahkan lebih indah dari sebuah lukisan, dan bahkan lebih se...