HEB 08

677 37 1
                                    

Aku mengambil selimut hitam polos yang terserak di atas ranjang. Sebelum keluar kamar, pandanganku tercuri oleh sesuatu di bawah pusar. Dia begitu jelas tercetak di balik celana boxer yang kukenakan tanpa celana dalam. Kuintip sebentar. Tegang maksimal!

Akhirnya aku berjalan ke ruang depan dengan selimut yang kugunakan untuk menutupi tonjolan itu. Kulihat Gilang sedang menggosok-gosok lengannya karena kedinginan.

Mungkin karena pengaruh dingin yang menusuk dan efek dari mimpi yang tadi terjeda, nafsu dalam diriku terbakar. Melihat Gilang yang begitu seksi, birahiku semakin memuncak. Tanpa ragu, aku duduk di sebelah cowok tampan itu.

"Lo goblok banget ternyata," ucapku sambil menyelimuti tubuhku dan Gilang dalam selimut yang sama. Gilang menatapku dengan matanya yang sayu dan dihiasi bibir yang nyaris putih. "Ngapain lo ke sini?"

"Gue udah bilang, gue kangen." Cowok itu bersandar di sofa lantas memiringkan tubuh menghadapku. Aku mengikuti apa yang Gilang lakukan. Katakanlah aku tidak punya pendirian, karena faktanya memang seperti itu. Tadi siang aku berpikir Gilang memuakkan. Sekarang, aku harus mengatakan kalau Gilang terlihat tampan dengan kondisinya yang seperti ini.

"Apa nggak ada penjelasan lain?" tanyaku menatap Gilang lekat.

Gilang membalas tatapanku. "Gue mau minta maaf. Gue akui kalau selama ini gue ngedeketin lo cuma buat misahin lo sama Vania. Tapi gue sadar, kalau gue beneran suka sama lo, Al."

Kata-kata Gilang meluncur lancar dari mulutnya. Ada nada gemetar sisa kedinginan yang menimpanya tadi.

"Gue benci ngakuin ini. Tapi gue bakal jujur, kalau gue kayaknya juga suka sama lo. Sejak pertama kali kita ketemu, gue udah deg-degan nggak karuan cuma gara-gara liat wajah bangsat lo."

Gilang sedikit terkejut mendengarku mengumpatinya. Namun aku tak merespon dan tetap melanjutkan ucapanku.

"Gue nggak mempersalahkan jangka waktu kita kenal yang nggak sampai tiga hari. Yang gue tahu, rasa suka bisa muncul kapan aja," jelasku mengalir begitu saja.

Gilang tersenyum lebar.

"Dan gue baru sadar setelah lo cerita tentang keluarga lo sama gue waktu kita di rumah sakit. Waktu itu, gue nanya-nanya tentang lo ke Vania, dan Vania tanya, kenapa gue tiba-tiba pengen tahu tentang lo.

"Pertanyaan Vania terus berputar-putar di kepala gue, dan akhirnya gue sampai pada kesimpulan kalau gue harus jujur sama diri sendiri. Gue mungkin suka sama lo."

Gilang masih tersenyum. Dia tidak berkata-kata apa-apa.

"Tapi setelah gue sadar kalau gue suka sama lo, gue langsung berusaha buat nggak memupuk rasa itu. Atau dengan kata lain, gue pengen ngehapus rasa gue ke lo."

Raut wajah Gilang berubah total. Dia panik. "Kenapa?"

"Karena hidup lo penuh dengan kepura-puraan!"

Cowok itu terpaku oleh perkataanku. "Maksud lo?"

"Kejadian bensin habis itu, parfum yang lo tempelin di baju gue, bahkan kecelakaan ini, lo rencanain semuanya, kan?"

"Dari mana lo tahu?"

"Gue nggak bodoh buat nggak sadar sama semua itu. Entah apa lagi yang lo rencanain. Dan gue nggak pernah benar-benar percaya sama apa yang lo ucapain, apalagi tentang lo yang suka sama gue."

"Terus kenapa lo setuju buat jadi pacar gue?!"

Aku menarik nafas dalam. "Mungkin karena ini."

Gilang melotot saat aku mencium bibirnya tiba-tiba. Aku menyesapnya lantas berubah menjadi hisapan keras. Beberapa detik berjalan, aku melepas pagutan itu.

Her Ex BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang