HEB 10

561 26 4
                                    

Aku menatap hasil ulanganku yang mendapat nilai separuh dari nilai sempurna. Aku tak berani pulang. Ayah ibuku pasti berang, apalagi mereka sedang hobi bertengkar. Paling aku jadi sasaran kemarahan mereka lagi. Alhasil, di sinilah aku. Di rumah Hamid. Tempat ternyaman dari tempat manapun di dunia ini, bahkan rumahku sekalipun.

"Kamu di sini aja. Aku nggak mau kamu dimarahin lagi kayak kemarin." Hamid berbicara hangat di sebelahku. Sekarang kami berdua sedang di kamar anak itu.

"Kenapa mereka suka banget marah-marah, sih? Aku capek denger mereka teriak-teriak setiap hari."

Hamid merangkulku. "Kalau kamu capek, kamu bilang aja. Aku nggak pernah capek buat jadi temen kamu."

"Kenapa kamu baik banget sih, Mid? Padahal aku udah jahat sama kamu."

"Kapan kamu jahat?"

Aku menatap tangan Hamid yang sedikit membesar karena kemarin tersiram air panas. "Kamu dimarahin Kak Fariz terus gara-gara aku. Padahal kamu nggak salah. Aku ngerasa aku ngerebut Kak Fariz dari kamu. Aku jahat banget."

"Aku emang salah, Yan. Kalau kemarin aku nggak ngeledek gambar kamu, kamu nggak bakal jatuh."

"Tapi- tapi bukan kemarin aja. Sebelumnya juga kamu sering dimarahin Kak Fariz. Dan itu semua gara-gara aku."

"Aku mungkin dimarahin Kak Fariz. Tapi Papa sama Mama nggak pernah marah sama aku. Aku bersyukur untuk itu. Dimarahin Kak Fariz nggak seberapa dibanding dimarahin Papa sama Mama. Aku nggak bisa bayangin jadi kamu yang dimarahin setiap hari."

Nafasku mendadak sesak mendengar kata-kata anak laki-laki itu. Aku terisak dan segera dipeluk Hamid. "Aku nggak tahu bakal gimana kalau nggak ada kamu, Mid."

Aku masih di pelukan Hamid saat tiba-tiba Kak Fariz masuk. Dia duduk di sebelahku dan mengelus kepalaku lembut. "Kakak juga nggak bakal biarin kamu sendiri, Yan."

"Makasih semua."

***

Hujan semakin deras mengguyur ketika aku sampai di depan rumah Gilang. Setelah menjemput Vania di rumah saudaranya, aku memutuskan untuk langsung ke sini. Kuharap Gilang belum tidur jam segini.

Aku mengetuk pintu beberapa kali namum tidak ada jawaban. Apa mungkin suara ketukanku tidak terdengar gara-gara hujan? Baiklah, akan kutambah tenaga untuk membuat suara lebih keras. Namun sebelum kulitku menyentuh permukaan pintu, mataku menangkap sebuah tombol yang dari tadi tak terlihat olehku. Tombol bel rumah. Aku menertawai kebodohanku.

Aku menekan tombol itu dan tak berselang lama, pintu itu terbuka. Wajah tampan Gilang langsung menyambut pandanganku. Dia tampak terkejut melihatku di sini. Akan tetapi, dengan segera, cowok itu memasang wajah datar.

"Apa gue ganggu?" tanyaku.

Gilang menggeleng. "Masuk."

Aku mengikuti instruksi Gilang untuk masuk. Setelah di dalam, Gilang dengan buru-buru menutup pintu lantas menguncinya. Tak ada waktu untukku bertanya, karena saat itu juga, Gilang menangkap mulutku dengan mulutnya lantas menyedot keras. Aku kelabakan. Kurasakan ada aroma nikotin yang lumayan kuat. 

Her Ex BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang