HEB 02

940 56 8
                                    

Suara dengkuran perlahan membawaku ke alam sadar. Di belakangku, Gilang masih terlelap dibalik selimut yang sama denganku. Kami masih sama-sama tak berbusana. Tangan Gilang memeluk tubuhku, kejantanannya menempel belahan pantatku. Dan sialnya, benda itu mengeras.

Kulihat jam dinding di kamarku menunjukan pukul tujuh lebih lima. Aku mencoba melepaskan diri dari pelukan Gilang dan berusaha bangkit. Aku meringis saat area belakangku terasa lumayan perih. Sebenarnya apa yang kupikirkan sampai-sampai menyerahkan diri pada Gilang seperti tadi malam? Rasanya aku sangat bodoh. Dimana harga diriku di depan mantan dari pacarku sendiri?

Aku menghela nafas berat. Perlahan, aku bergerak meraih handuk yang tergantung di belakang pintu kamar. Niat hati ingin langsung ke kamar mandi, namun bayanganku di cermin menyita fokus.

Aku memandangi tubuhku yang penuh dengan cupangan. Mulai dari leher, tengkuk, dada, perut, hingga paha, semua terdapat bekas hisapan mulut Gilang. Aku menatap cowok itu yang juga dipenuhi cupanganku, tapi tidak sebanyak cupangan yang ada di tubuhku. Aku berpikir, kenapa bukan aku saja yang mendominasi Gilang tadi malam. Mengapa aku yang harus menjadi pihak penerima, saat aku juga punya apa yang Gilang punya.

Nafasku mendadak sesak. Ada penyesalan yang tak bisa kugambarkan. Satu sisi dari harga diriku sebagai laki-laki tergores sangat dalam. Namun di sisi lain, aku juga tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Gilang, karena semua ini terjadi karena keteledoranku yang menyajikan kopi milik kakak iparku. Kopi sialan!

Aku berjalan dengan langkah yang menurutku aneh. Untung saja di rumah ini hanya ada aku dan Gilang. Jadi tidak akan ada yang bertanya mengapa jalanku seperti wanita yang habis malam pertama.

Setelah perjuangan yang lumayan berat, akhirnya aku tiba di kamar mandi. Membuka handuk yang melilit tubuhku, lantas mulai menyiramkan air ke sekujur tubuh.

Beberapa memori semalam muncul begitu saja. Memori saat aku meminta Gilang mempercepat gerakannya, memori ketika aku mendesah kenikmatan sambil menyebut nama Gilang berkali-kali, dan memori saat aku meminta Gilang keluar di dalamku. Aku benar-benar merasa seperti jalang yang tidak ada harganya.

"Bodoh! Bodoh! Bodoh!" Aku menjambak rambut frustasi. "Lo bodoh banget, Alfian!"

Ember yang tepat berada di depanku langsung menjadi sasaran. Kutendang benda itu hingga pecah. "Bangsat!"

Aku kembali menyiramkan air sebanyak mungkin, berharap dengan melakukan itu, rasa panas di kepalaku bisa reda. Namun apa yang kuharap tidak terwujud. Tidak ada bedanya walaupun air di bak mandi hampir habis.

Aku memejamkan mata, mencoba menjernihkan pikiran. Semua sudah terjadi. Apa yang aku lakukan tidak akan bisa membawaku ke waktu dimana aku membuat kopi yang seharusnya bukan kopi itu.

"Al?" Suara Gilang terdengar dari luar kamar mandi. "Lo baik-baik aja, kan?"

Aku menghela nafas sebelum memutuskan menjawab Gilang. "Iya, Lang. Gue baik-baik aja. Bentar lagi gue keluar."

Aku menyiram tubuhku beberapa kali, lantas meraih handuk. Mengeringkan tubuh, lalu keluar dengan handuk menutupi area perut ke bawah. Aku langsung mendapati Gilang yang berpakaian lengkap.

"Mau mandi?" tanyaku datar. "Ntar gue anterin handuk buat lo."

Gilang tak menanggapi. Cowok itu diam sambil menunduk. "Maaf."

Lagi, aku menghela nafas. "Gue ke kamar dulu. Kalau mau mandi, mandi aja. Ntar gue anterin handuknya."

Aku berlalu meninggalkan Gilang. Entah apa yang membuatku merasa Gilang paling bersalah di sini. Aku merasa cowok itu telah mengambil sesuatu dariku yang takkan mungkin kembali.

Her Ex BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang