HEB 15

364 17 5
                                    

"Jadi, lo udah nggak sama Vania?" tanya Shesa sambil mengupas apel. Kini hanya ada aku dan kakakku itu. Gilang pamit katanya ingin istirahat di rumah. Tapi aku tahu kalau Gilang hanya ingin memberiku waktu bersama Shesa.

"Enggak," jawabku jujur.

"Udah lama kalian putus?" tanyanya lagi.

"Sekitar sebulan mungkin," jawabku sambil mencoba mengingat-ingat lagi.

"Putus gara-gara lo punya cowok?"

Pertanyaan Shesa membuatku terkejut. Bagaimana dia tahu? "Maksud lo?"

"Gue tahu cowok yang baru aja pergi itu pacar lo."

"Dia ngaku sama lo?"

Shesa menggeleng. "Jadi bener?" cecarnya. Tak ada pilihan lain selain mengaku.

"Maaf kalau lo kecewa sama gue."

"Apa wanita di dunia ini udah nggak ada?" tanyanya sarkas. "Atau nggak ada cewek yang mau sama lo?"

Aku memang sudah bersiap dari jauh hari jika ada pertanyaan semacam ini. Namun aku tak menyangka kalau orang yang pertama menanyakan ini adalah Shesa.

"Ini bukan soal ada wanita atau enggak. Ini soal perasaan."

Shesa menghembuskan nafas kasar. "Kak Fariz sama Hamid juga belok?"

Aku terdiam mendengar pertanyaan Shesa kali ini. Aku ingin menutupinya, namun sepertinya tak akan bisa. Akhirnya kuputuskan untuk mengangguk, mengiyakan pertanyaan Shesa.

Lagi-lagi Shesa bereaksi tidak menyenangkan. Entah sudah keberapa kali kakakku itu menghembuskan nafas kasar seperti ini.

"Kalian pada kenapa, sih?!" Shesa meletakkan beberapa potong apel yang sudah selesai dia kupas. Aku tidak tahu harus merespons seperti apa. Mendadak suasana menjadi sangat tidak nyaman.

Di tengah suasana yang sangat memuakkan, tiba-tiba seseorang muncul. Orang yang sedang dibicarakan. Hamid tersenyum lebar seraya bergerak ke arahku. Cowok itu sudah terlihat sehat. Jalannya juga sudah normal. Syukurlah. Gilang tidak berbohong tentang kondisi Hamid.

Sampai disampingku, Hamid tak mengatakan apapun. Dia hanya memandangiku sambil menunjukkan wajah sumringah. Aku menatapnya heran. "Lo kesambet? Senyum-senyum terus dari tadi."

"Nyawa lo banyak juga, ya?" balas Hamid masih dengan senyumannya. "Gue bawa mie ayam. Lo mau?"

"Orang gila mana yang nawarin mie ayam sama orang yang baru aja selamat dari kematian?" ucap Shesa menyindir. Lalu kakakku itu merampas kantung kresek di tangan Hamid. "Gue udah kupasin buah. Di situ juga udah ada bubur. Lo makan itu aja. Jangan aneh-aneh!"

Aku hanya diam melihat Shesa membawa bungkusan itu keluar. Mendadak aku tak berani menghentikannya walaupun sebenarnya aku sangat ingin memakan mie ayam yang Hamid bawa. Sama halnya denganku, Hamid sama bungkamnya. Dia sepertinya juga tidak berani membantah Shesa.

Hamid menghela nafas. "Maafin gue. Shesa udah tau semua."

Aku menatap Hamid. Ternyata dia yang memberi tahu. "Apa yang lo kasih tahu sama dia?"

Hamid terlihat mengingat-ingat "Awalnya dia nanyain kenapa lo bisa ngiris tangan lo. Gue jelasin kalau lo maksa gue ke ke rumah sakit, tapi gue nolak. Lalu dia nanya kenapa gue bisa luka-luka. Gue jelasin kalau Kak Fariz yang lakuin ini. Abis itu Shesa nanya kenapa Kak Fariz ngelakuin ini. Gue jelasin. Dan semua terbongkar begitu saja. Ngalir dengan sendirinya. Mungkin karena gue udah nggak tahan lagi buat mendem ini sendiri," jelas Hamid lancar. Pandangannya menerawang seolah sedang kembali ke waktu itu.

Her Ex BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang