HEB 01

1.2K 66 8
                                    

Aku mengendarai sepeda motor selepas mengantar Vania ke rumahnya. Di jalanan malam, Speedometer pada dashboard di depanku menunjuk angka 80 km/h. Kuda besi membelah angin malam yang mulai bercampur gerimis. Jalanan yang lengang dan mulus membuatku mempercepat laju kendaraan, hingga sebuah motor yang tengah didorong pemiliknya menyita perhatianku, membuatku menurunkan kecepatan.

Motor dan jaket itu tidak asing. Akhirnya kuputuskan untuk berhenti dan memastikan kalau itu memang betul cowok yang tadi kujumpai di parkiran.

Benar. Itu adalah mantan Vania. Aku berputar arah bermaksud menghampiri cowok yang tadi sempat terlewat. Walaupun dia adalah mantan cewekku, tapi tak ada salahnya kan membantu orang yang sedang kesusahan?

"Kenapa, Mas?"

Cowok itu menatapku. "Eh, Mas." Dia tampak terkejut mendapatiku. "Ini, Mas. Bensinnya habis."

"Ooh. Jam segini biasanya udah nggak ada warung bensin yang buka," jelasku. Jalan ini termasuk jalan yang jarang dilalui banyak kendaraan, jadi agak sulit menemukan penjual bensin di jam malam seperti ini. "Ada selang nggak?"

"Nggak ada," jawabnya.

"Yaudah, ke rumah gue dulu yuk," ajakku.

"Ngapain?"

"Ntar gue sedotan bensin di motor gue buat lo."

Cowok itu tampak berpikir. "Nggak ngerepotin?"

"Enggak. Santai aja," ucapku pada cowok itu yang sepertinya merasa nggak enak, tapi tidak ada pilihan lain selain menerima bantuanku.

"Makasih."

"Iya. Gue step motor lo. Nggak jauh kok rumah gue."

"Makasih banget, bro."

Aku tersenyum. Tanpa menjawab, aku segera memposisikan motorku di belakang motor cowok itu. Dia segera naik ke Jupiter MX miliknya. Aku meletakkan kaki kiriku di footstep miliknya dan mulai melaju.

Hampir sepuluh menit aku mengendarai motor dengan posisi seperti itu. Ternyata capek juga. Gila. Kukira jarak rumah sudah dekat, tapi ternyata kalau sambil begini jaraknya terasa beberapa kali lebih jauh.

Aku menghentikan motor sesampainya di depan rumah. "Masuk dulu," ajakku yang mendahuluinya masuk halaman.

"Iya." Dia mendorong motor masuk ke halaman rumahku dan menghentikannya di sebelah motor milikku.

"Bentar, gue ambil selang dulu." Aku memasuki rumah dan segera mengambil benda itu. Tidak sulit mencarinya, karena aku sering menggunakan benda itu untuk menyedot bensin dari motor Kakakku. Tak lupa aku membawa sebuah ember kecil dan corong.

Aku keluar rumah dan segera menuju cowok yang duduk di teras. Membuka jok Vario milikku, lantas mulai mengalirkan bensin ke ember yang kusiapkan. Cukup banyak yang mengalir, karena kupikir mungkin saja cowok itu rumahnya jauh.

"Udah, jangan kebanyakan," ucapnya saat ember yang kupegang hampir penuh.

"Nggapapa. Bensin gue masih banyak."

"Duh, gue jadi nggak enak, sob."

"Udah, nggak usah dipikirin. Anggap aja ini rejeki lo."

Cowok itu tersenyum. "Makasih banyak, yah. Gue nggak tahu gimana kalau nggak ada lo."

"Sama-sama." Aku menarik selang yang terhubung ke lubang di tangki bahan bakar motorku. Dengan segera, cowok itu membuka jok dan penutup tangkinya. Aku memasukkan corong ke sana lantas menuang bensin.

Setelah semua tertuang, dia segera menutup tangki. "Sekali lagi makasih. Besok gue ganti bensin lo."

"Nggak usah. Gue ikhlas nolong."

Her Ex BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang