HEB 19

87 9 0
                                    

Aku mengendarai motor sambil memikirkan ucapan Hamid sinting. Bisa-bisanya dia memintaku melayani Kak Fariz. Apa otaknya sudah konslet? Aku benar-benar tak habis pikir dengan bocah itu. Bukankah seharusnya dia senang ketika Kak Fariz akhirnya menerimanya, alih-alih membayangkan diriku? Malah dia ingin menghancurkan itu semua.

Beberapa perempatan terlewati yang tanpa kusadari, aku sudah di depan SMA Satria. Aku tersenyum tipis ketika mengingat dua mantan kekasihku bersekolah di sana. Vania dan Gilang. Aku sempat berpikir kalau mereka mungkin saja kembali berpacaran dan itu membuatku merasa tidak nyaman. Tapi, ya sudahlah.

"Alfian!"

Aku menarik tuas rem dan segera menepikan motor yang kukendarai. Seseorang memanggilku dengan suara yang tidak asing. Aku menoleh dan mendapati Vania sedang berjalan cepat ke arahku.

"Ada apa?" tanyaku saat Vania sudah di depanku.

"Lo putus sama Gilang?"

Keningku mengernyit secara refleks. "Kenapa?"

"Gue nanya, kalian putus?"

Aku mengangguk. "Dari mana lo tahu?"

"Udah gue duga." Vania terdengar mengela nafas. "Temen gue yang sekelas sama Gilang bilang kalau dia udah nggak berangkat selama seminggu. Gue khawatir."

"Gue sama dia udah nggak ada apa-apa. Kalau lo khawatir, lo aja yang hubungi dia." Aku mencoba untuk tetap tenang.

"Udah. Gue sama temen-temen Gilang yang lain udah coba hubungi dia. Tapi nggak ada yang bisa. Gue gue tahu betul Gilang. Dia nekat, Yan!"

"Apa maksud lo nekat? Apa lo coba bilang kalau Gilang mungkin saja bun-" Aku tak sanggup melanjutkan kata-kataku.

Vania menggeleng cepat. "Gue nggak tahu. Intinya sekarang kita ke rumah Gilang!"

"Gue mau sekolah!"

"Sekolah bisa besok lagi!" Vania langsung naik membonceng tanpa meminta persetujuan dariku. "Cepat jalan!"

Aku mau tak mau mengikuti cewek itu. Segera kutarik tuas gas dan melaju ke arah rumah Gilang. Sekitar sepuluh menit kemudian, aku sampai di rumah cowok itu. Seperti biasanya, rumah itu terlalu sunyi. Aku mencoba mengetuknya.

"Jangan diketuk!" Vania segera menghentikan tanganku. Aku merasa sedikit canggung saat tangan Vania menggenggam tanganku. Mungkin dia juga merasakan hal itu karena dengan cepat dia menarik tangannya.

"Langsung masuk aja." Vania perlahan membuka pintu itu dan berjalan di depanku. Dia seperti sudah hafal betul denah rumah ini. Cewek itu melenggang menuju kamar Gilang. "Coba lo cek kamarnya."

Aku menurut. Aku tak menepis fakta bahwa aku pun mengkhawatirkan Gilang. Apalagi setelah Vania bilang dia bisa nekat. Aku jadi teringat dulu Gilang pernah menabrakkan dirinya ke mobil pick up hanya untuk mendapatkan perhatianku.

Perlahan pintu kamar Gilang terbuka, dan nafasku langsung memberat saat melihat seorang pria tergeletak di atas ranjang. Di sisinya, seorang wanita tengah memeluk tubuh Gilang dengan selimut yang menutupi tubuh bagian bawah mereka. Otakku tak mampu mencerna situasi apa yang sedang Aku hadapi saat ini. Yang jelas, aku yakin kalau ini bukan mimpi. Aku segera menoleh ke arah Vania. Cewek itu mengedikkan bahu.

Aku melangkah mendekati ranjang Gilang, namun Vania lagi-lagi menghentikanku. Aku menatapnya dan mendapati dia menggeleng seolah mengatakan kalau apa yang akan kulakukan bukanlah tindakan yang tepat. Aku paham. Gilang dan aku sudah tidak ada apa-apa. Jadi dia mau bercinta dengan siapapun, aku tak berhak melarangnya.

"Cepet ambil foto mereka sebelum kita dikira maling."

Aku mengikuti intruksi Vania. Segera kuambil HP di saku dan beberapa kali memotret mereka. Setelah kupastikan kalau foto ini jelas, aku dan Vania segera keluar. Tak lupa kututup lagi pintu kamar dan pintu rumah itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 13 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Her Ex BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang