HEB 03

785 51 6
                                    

Kalau waktu bisa berhenti, mungkin rasanya seperti ini -saat Vania menodongku dengan pertanyaan yang tak pernah terbayang di otakku sedikit pun.

"Iya. Ini cupangan."

Vania melotot. "Cupang siapa?!"

"Semalam dicupang semut." Aku mencoba terlihat setenang mungkin. Jangan sampai Vania menangkap kebohongan yang baru saja kuucap.

"Itu- bukan Gilang yang bikin tanda, kan?" tanya Vania dengan pandangan menelisik. Seperti ada semacam sensor pendeteksi kebohongan di matanya.

"Bukan, lah! Ngawur kamu!" Aku masih menyugesti diriku untuk tetap tenang. Jangan terlihat panik!

"Oke." Vania melihat ponselnya sekilas. "Udah mau jam sebelas. Kamu lanjutin makannya sendiri, yah. Aku udah bilang mama mau bantuin beresin gudang. Kamu mau ikut nggak?"

Aku memikirkan tawaran Vania. "Kayaknya enggak dulu deh, Van. Pengen tiduran dulu. Mumpung liburan."

"Hmm ya udah deh. Aku pulang dulu, yah."

Aku mengangguk. "Maaf."

"Gapapa, kok." Vania beranjak dari kursi dan melangkah menuju pintu keluar.

"Hati-hati, sayang."

Vania tersenyum. "Kalau mau bohong sama aku, belajar cara bohong yang bener dulu, yah." Setelah mengatakan itu, Vania langsung membelah cahaya matahari siang ini dengan beat putih merahnya. Dia melewati terik yang lumayan membuatku panas padahal aku tak bersinggungan langsung dengan sinar sang surya itu. Tidak. Panas tubuhku bukan karena cuaca, tapi karena Vania baru saja mengucapkan aku tahu itu cupangan Gilang dengan kalimat lain.

***

Kepalaku berdenyut memikirkan Vania yang tahu kalau aku berbohong, namun dia tampak seolah menganggap itu bukanlah hal besar. Bahkan dia lebih terlihat seperti mengganggap cupangan itu tidak pernah ada. Apa itu artinya Vania tidak peduli kalau aku membohonginya? Atau Vania hanya bercanda tadi?

Aku benar-benar tidak bisa menerka apa yang Vania pikirkan. Cewek itu sudah menjadi pacarku, tapi kadang aku sulit memahami jalan pikirannya.

Kuputuskan untuk menghubungi Vania. Hal seperti ini harus segera aku tanyakan agar tidak membuatku parno sendiri. Lagipula aku juga tidak mau kejauhan berpikir bahwa Vania mungkin sudah tidak peduli lagi dengan apa yang kulakukan.

Beberapa kali aku menelfon dia, namun tidak diangkat. Oh iya. Dia bilang mau bantuin beresin gudang, kan?

Tanpa banyak berpikir lagi, aku langsung membulatkan tekat untuk ke rumahnya dengan alasan ingin ikut membantu. Aku juga mengenal Tante Dewi cukup baik, jadi rasanya nggak ada alasan aku nggak ke sana.

***

Aku sampai di halaman rumah Vania dan langsung dibuat terkejut saat sebuah kendaraan yang tidak asing terparkir di sana. Sebuah sepeda motor yang tadi pemiliknya sempat merasakan bogem mentah dariku.

Ngapain Gilang di rumah Vania?

Aku memutuskan untuk masuk dan mencari tahu. Selangkah lagi dari pintu masuk, aku segera menangkap suara perpaduan dua manusia yang saling bertabrakan.

"Kamu nggak pantas sama cowok itu, Van!" suara Gilang persis seperti saat dia bicara denganku tadi pagi.

"Lo nggak punya hak buat nentuin gue pantas sama siapa!"

"Kamu udah liat sendiri kan, leher dia banyak bekas cupangan?! Mau ngelak apa lagi?!"

"Gue kenal Alfian. Dia nggak mungkin ngelakuin hal serendah itu!"

Her Ex BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang