HEB 13

352 16 1
                                    

Aku memandangi tubuh Gilang yang tergeletak tanpa penutup apapun. Beberapa tanda cupangan tampak jelas di leher dan dadanya. Begitu juga dengan perut dan pahanya yang terdapat beberapa tanda bekas hisapanku. Aku lantas melihat tubuhku sendiri yang bahkan dua kali lebih banyak cupangan dibanding Gilang. Cowok itu benar-benar memenuhi permintaan gilaku.

Kupeluk Gilang. Kulit kami saling bergesekan. Kuakui, Gilang dapat menjadi pengenyah kesemrawutan dalam otakku. Bercinta dengannya seolah menguapkan beban pikiranku untuk sementara. Setidaknya aku tidak terlalu stress memikirkan apapun yang sedang terjadi.

Gilang menggeliat. "Besok lagi, ya. Aku capek."

Aku tak mampu menahan senyumanku. "Aku cuma pengen peluk, kok. Boleh, kan?"

Gilang mengangguk kecil. Sesaat setelah itu, cowok itu memiringkan tubuhnya menghadapku. Spontan aku memeluknya erat. "Aku sayang banget sama kamu, Lang."

"Aku juga."

Aku mengecup bibir Gilang, namun cowok itu ternyata sudah kembali tidur. Aku yakin dia lelah selepas permainan brutal kami. "Makasih, sayang."

***

Tak seperti biasanya, malam ini langit tampaknya sedang dalam kondisi yang gembira. Suasananya juga sangat mendukung untuk sepasang kekasih sekadar berjalan-jalan bersama. Atau menghabiskan malam di luar ruangan, seperti aku dan Gilang yang saat ini sedang duduk di tepi taman kota. Tempat dimana aku dan Vania dulu hampir berciuman. Juga tempat pertama kali aku dan Gilang bertemu.

"Kamu inget tempat ini?" tanyaku.

Gilang mengangguk. "Tempat kamu dan Vania pacaran."

Aku menggaruk tengkuk. "Ini tempat kita pertama kali ketemu," jawabku agak canggung.

Gilang tersenyum. "Waktu itu, aku cuma mikir gimana caranya aku dapetin Vania lagi. Aku nggak sadar kalau ada yang lebih berharga dari itu."

"Aneh, ya. Pacarku adalah mantan dari mantan pacarku." Aku tersenyum geli.

"Yang kaya gini nggak bakal ada di dunia straight."

Aku mengangguk mengiyakan. "Aku nggak nyangka bisa jadi bagian dari kaum pelangi. Padahal dulu aku ngerasa kaum pelangi itu bodoh. Tapi sekarang aku tahu, terkadang menjadi bodoh itu menyenangkan."

"Kamu ngerasa bodoh?"

"Kamu enggak?" Aku menjawab pertanyaan Gilang dengan pertanyaan.

"Aku akan jadi orang yang paling bodoh kalau aku nggak bisa dapetin kamu."

"Bisa aja lo!" Aku menepuk bahu Gilang agak keras, namun Gilang malah memelukku. Dengan cepat kudorong cowok itu. "Gila lo yah?! Ini tempat umum!"

"Terus?"

"Kita bukan di Jerman!"

"Iya, tahu."

"Gausah aneh-aneh kalau di luar."

"Yaudah, deh. Terus mau ngapain kita di sini? Mending di kamar. Bisa ngew-"

Gilang langsung menghentikan kalimatnya saat mataku seakan mau lepas untuk memelototinya. Bisa-bisanya dia bicara seperti itu di tempat dengan banyak orang seperti ini. "Gue pengen cerita."

"Gue?"

Aku menyadari sesuatu. "Maksudnya, aku pengen cerita."

"Aku bakal dengerin."

"Tapi sebelum itu, aku pengen nanya sama kamu. Kamu harus jawab jujur."

Gilang nampak sedikit berpikir. "Apa aku pernah nggak jujur?"

Her Ex BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang