HEB 12

393 20 1
                                    

"Aku sama sekali nggak bermaksud buat nutupin semua ini dari kamu, Al. Aku cuma nggak mau persahabatan kamu sama Hamid jadi rusak gara-gara aku. Akhirnya aku ambil keputusan buat nggak bicara apapun tentang masa lalu aku sama Hamid."

Aku tidak mau egois. Jadi, kuputuskan untuk mendengarkan penjelasan Gilang, walaupun tetap saja aku masih kesulitan untuk bernafas normal. Kupaksakan diriku mendengar semuanya agar semua masalah ini segera menemui titik penyelesaian. Apalagi ini menyangkut dua orang yang paling dekat denganku. Jadi, walaupun perih, kukuatkan diriku untuk mengetahui semuanya secara detail. Aku tak mau menyesal nantinya.

"Awalnya aku ketemu Hamid di tempat makan. Waktu itu, hanya ada tempat kosong di sebelah Hamid. Jadi mau nggak mau, aku duduk di sana. Setelah itu, kami ngobrol dan tanpa sengaja obrolan kami sampai pada pembahasan seks sejenis. Lalu secara tidak sengaja kita mengetahui orientasi satu sama lain sebagai biseksual.

"Setelah itu, aku ajak Hamid buat lakuin itu. Tanpa kusangka, dia mau. Dan hal itu berulang sampai beberapa kali.

"Tapi perlu kamu tahu, Al. Aku ngelakuin itu cuma karena nafsu. Aku nggak punya perasaan apapun sama Hamid."

Aku tercengang mendengar penjelasan detail yang Gilang katakan. Seketika itu juga, pandanganku teralihkan pada Hamid yang tiba-tiba bangkit dan melangkah cepat menuju kamarnya. Setelah itu, suara pintu tertutup terdengar dari ruangan itu. Suara yang sangat keras.

Dan seolah kehilangan kemampuan berpikir, akalku baru terkoneksi setelah lima detik mencerna apa yang sebenarnya terjadi.

Tanpa berpikir panjang, aku segera menyusul Hamid. "Mid!" panggilku sambil menggedor pintu yang dikunci itu. "Buka, Mid."

Nihil.

" Hamid!"

Aku menarik nafas dalam-dalam. Apa Hamid menyukai Gilang? Dan Gilang cuma main nafsu belaka?

Aku menyerah. Kulangkahkan kakiku menuju ruang tengah. "Kita pulang."

"Hamid kenapa?"

Aku tak menjawab. Kakiku terus melangkah menuju pintu yang akan membawaku keluar. Gilang mengikutiku.

Hujan masih mengguyur. Aku berjalan lemas menuju rumah dengan menerjang tangisan langit itu. Kepalaku terasa penuh. Belum selesai masalah dengan Kak Fariz, kini timbul masalah yang tak pernah kusangka-sangka. Apa Hamid benar-benar menyukai Gilang?

Gilang masih mengikutiku walau hujan kembali membasahinya. Sampai di depan rumah, aku berbalik dan menatap wajah laki-laki itu. Badannya basah kuyup, sama sepertiku. "Aku pengen sendiri. Kamu pulang aja."

Cowok itu menghela nafas. "Abis ini jangan lupa mandi. Aku nggak mau kamu sakit."

Aku mengangguk. Tanpa menjawab, aku melangkah memasuki rumah. Beberapa saat kemudian, suara deru mesin motor Gilang terdengar lantas perlahan menghilang.

***

Kalau diibaratkan HP, pasti sudah ada pemberitahuan 'Ruang penyimpanan hampir habis' muncul di jidatku. Belum selesai masalah Hamid, kini bahkan anak itu bikin masalah lagi. Walaupun sebenarnya bukan sepenuhnya salah Hamid, tapi dua masalah ini berhubungan dengannya.

Dan masalah yang kemungkinan akan muncul adalah sesuatu yang aku sendiri tak tahu bagaimana akan menyelesaikannya. Apakah aku harus memilih sahabatku, atau kekasihku.

Aku tidak mungkin meninggalkan Hamid. Dia adalah penyangga tubuhku di saat aku tak mampu berdiri sendiri. Mana mungkin aku harus kehilangan sahabat sebaik dia?

Tapi aku juga sulit untuk melepas Gilang. Walaupun seandainya aku harus memilih, mungkin keputusan untuk meninggalkan Gilang tidak akan kusesali kalau dibandingkan meninggalkan Hamid.

Her Ex BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang