HEB 14

320 16 9
                                    

🔞🔞🔞

PERINGATAN!

Konten dewasa. Terdapat adegan berdarah. Tidak untuk ditiru siapapun. Jika tidak kuat, saya sarankan tidak perlu dibaca.

####

Aku memandangi punggung Gilang yang dengan cepat menghilang bersama sepeda motornya di tikungan.  Aku memaksanya untuk pulang setelah mengantarku sampai rumah. Rasanya sangat bahagia bisa menghabiskan malam ini bersama Gilang, lalu berbagi banyak keluh kesah yang selama ini kupendam sendiri. Sebenarnya bisa saja Gilang menginap di rumahku, atau aku menginap di rumah Gilang. Rumah kami sama-sama sangat memungkinkan untuk ditinggali bersama. Namun selepas permainan brutal kami, kupikir lebih baik tidur di rumah masing-masing saja. Aku khawatir Gilang tiba-tiba memasukan miliknya saat Aku terlelap di saat kondisi asetku belum terlalu siap digempur lagi.

Aku membuka pintu untuk memasuki rumah. Namun rumah di depan rumahku menyita perhatian. Kak Fariz dan Hamid mungkin sedang melakukan hal seperti kemarin. Aku menghembuskan nafasku kasar. Entah dapat angin dari mana, tiba-tiba muncul keinginan untuk pergi ke rumah itu. Tanpa berpikir dua kali, aku segera mematri langkah ke tempat itu.

Kubuka gerbang yang tidak terkunci di depan rumah Hamid. Tidak ada motor milik Kak Fariz di halaman. Sepertinya dia belum pulang. Entah kemana dia kalau jam segini.

Aku berhenti di depan pintu rumah Hamid. Entah mengapa aku mendadak takut untuk menyelonong masuk seperti biasanya. Padahal aku yakin kalau hanya ada Hamid saja di rumah. Orang tuanya memutuskan untuk berpisah sekitar enam bulan yang lalu. Kisahnya hampir sama sepertiku. Ayah ibunya sudah memiliki keluarga masing-masing. Bedanya, orang tua Hamid masih berhubungan baik satu sama lain, sedangkan orang tuaku saling membenci. Namun kuyakin Hamid merasakan kepedihan yang kurasakan juga.

Kuputuskan untuk mengetuk pintu rumah itu. Tak berselang lama, Hamid keluar dan nampak terkejut melihatku di depan pintu.

"Lo kesambet dimana sampe tiba-tiba ke rumah gue pake ketuk pintu?"

Aku memperhatikan lebam di wajah Hamid yang sudah membaik. Hanya saja, wajahnya sedikit pucat. "Gue tadi abis ikut pengajian. Katanya ngga baik masuk rumah orang tanpa izin," bohongku.

"Pengajian sama pacar lo?"

Aku sedikit terkejut. Namun kucoba bersikap biasa saja. "Maaf soal kemarin malem," ucapku. Aku tidak tahu pasti mengapa aku harus meminta maaf. Namun aku merasa perlu melakukannya.

"Oh, itu." Hamid tampak tidak senang membahas hal itu. "Masuk aja. Gue lagi masak mie."

Hamid mendahuluiku masuk. Namun mataku mengangkap ada sesuatu yang tidak beres dengan cara Hamid berjalan. Aku jadi teringat saat pertama kali Gilang menerobos tubuhku. Paginya aku kesusahan berjalan. Persis seperti Hamid saat ini. Apakah Kak Fariz sangat kasar?

"Lo diapain lagi sama Kak Fariz?" tanyaku setelah kami berdua sampai di dapur. Hamid mengaduk mie yang sudah berada dalam panci kecil di atas kompor tanpa menanggapi pertanyaanku.

"Mid?"

Tak ada jawaban. Hamid seperti tak mendengar apa-apa. Bahkan menatapku pun tidak. Namun aku dibuat terkejut saat Aku menyadari bahwa Hamid melamun dan ujung jari telunjuk dan jari tengahnya menempel panci panas. "Astaga! Lo kenapa, sih?!" Kutarik tangan Hamid menjauhi panci.

Aku memaksa Hamid menatapku. Kuputar tubuhnya menghadapku. "Mid?"

Tatapan Hamid begitu kosong. Wajahnya semakin pucat, nyaris seperti mayat hidup. "Lo sakit?" tanyaku seraya menempelkan punggung tanganku ke dahi Hamid. Suhunya lebih panas dari manusia normal.

Her Ex BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang