HEB 18

187 12 6
                                    

Aku menghisap sebatang rokok yang tadi kubeli di warung perempatan sambil menikmati udara malam di teras depan. Ini sudah sangat lama sejak aku terakhir merokok saat masih SMP dulu. Entahlah. Rasanya kepalaku berat sekali mengingat apa yang terjadi tadi siang. Aku masih merasa tak percaya kalau akhirnya harus berpisah dengan Gilang dengan cara seperti ini.

Dari tadi siang, aku merasa kehilangan seluruh semangat hidup. Aku bahkan belum makan apa-apa, saking tidak punya nafsu makan. Pikiranku masih tersita untuk Gilang dengan wajah kecewanya. Otakku terus dibayangi dengan aktivitas seksual kami tadi yang terasa nikmat, namun sangat menyakitkan di waktu yang sama. Aku tersenyum getir.

Angin malam tiba-tiba menyapa dengan hawa dingin yang cukup menusuk. Aku mengusap lengan dan tengkukku yang menggigil. Kuseruput kopi yang kini tidak lagi mengepulkan asap. Kopi. Ah sialan. Aku jadi teringat kejadian malam itu. Pertama kali aku melakukan hubungan badan dengan Gilang adalah gara-gara kopi. Aku kembali tersenyum tipis mengingat seperti apa pertemuan kami dulu.

Rasanya benar-benar sakit. Aku memikirkan juga bagaimana perasaan Gilang dengan semua dugaannya yang menganggap bahwa aku hanya menjadikan dirinya pemuas nafsu. Padahal tidak sama sekali. Aku benar-benar menempatkan Gilang di posisi yang istimewa di hati. Namun tak apalah. Mungkin dengan cara ini aku jadi bisa benar-benar tidak berhubungan lagi dengan Gilang. Mungkin.

Aku menoleh ke samping kanan saat seseorang duduk menyejajariku. Laki-laki dengan kaus putih panjang dan mengenakan sarung hitam polos. Dia duduk tepat di sebelahku. "Lagi galau?" tanyanya.

"Eh, Mas. Enggak kok," bohongku dengan diikuti tawa pura-pura. Dia adalah suami Shesa yang baru tiba tadi siang.

"Kamu lagi ada masalah sama kakakmu? Soalnya dia juga kelihatan banyak pikiran."

Aku menatap laki-laki itu. "Shesa nggak cerita?"

"Belum. Mas udah berusaha tanya, tapi dia belum jawab apa-apa."

Aku menghela nafas. Sebenarnya aku sendiri bingung harus bercerita seperti apa pada suami Shesa ini. Aku akan sangat malu kalau aku mengaku menjalin hubungan dengan mantannya Shesa yang jenis kelaminnnya sama denganku.

Untuk sesaat, aku dan laki-laki itu tak berkata apa-apa. Hanya kepulan asap dari rokok dan sesapan kopi serta beberapa suara kendaraan yang melintas. Tak lama kemudian, aku merasa diperhatikan secara intens olehnya. Dengan cepat kubalas menatap laki-laki itu. Kudapati wajahnya tampak heran dengan kening sedikit mengernyit.

"Kamu suka laki-laki?"

Mataku melotot saking terkejutnya dengan pertanyaan yang tiba-tiba muncul dari kakak iparku ini. "M-maksud Mas?"

"Itu leher kamu."

Aku reflek mengusap leherku. Awalnya aku tak paham dengan apa maksud suami Shesa mengatakan tentang leherku. Namun aku langsung menunduk malu saat aku sadar bahwa yang laki-laki itu maksud adalah cupangan. Sial. Gilang sepertinya sengaja membuat banyak tanda di leher.

"Gara-gara itu kalian pada saling diem?"

Aku masih menunduk karena malu setelah ketahuan kalau aku menyukai sesama laki-laki. "Sebenarnya lebih dari itu."

"Mas boleh tahu?" tanyanya ramah namun dengan suara yang sangat menunjukkan bahwa ia mendominasi. Suaranya berat dan terdengar sangat maskulin, sehingga membuat otakku mengirim sinyal untuk menatapnya. Pandanganku terpaku pada laki-laki itu dan menyadari bahwa dia begitu tampan. Alisnya tebal, kumis tipis, rahang tegas, dan mata yang begitu jernih tertimpa cayaha lampu teras. Astaga.

Kulihat dia menghembuskan nafas agak keras. "Jangan aneh-aneh!"

Aku segera memalingkan wajah. Otakku benar-benar kehilangan kemampuan untuk berpikir jernih. Bisa-bisanya aku malah mengagumi kakak iparku sendiri? Lalu sialnya, dia tahu isi kepalaku. "Maaf, Mas."

Her Ex BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang