Malam itu, semuanya semakin jelas.
Alasan keluarganya meninggalkan Nathan sendirian di rumah baru, ketika ia memasuki usia 10 tahun.
Alasan keluarganya melarang menyebarluaskan bahwa Nathan adalah anak kedua dari Immanuel Lim dan Yohanne Lim.
Alasan keluarganya memerintahkan Nathan untuk menyingkat namanya menjadi Jonathan L. Tanpa memberitahukan marga keluarga kepada siapapun.
Alasan Nathan hanya boleh bertukar kabar melalui ponsel dengan Gibka, kakak lelalinya. Hanya boleh bertemu di rumah.
Ya, sekarang semuanya semakin jelas.
Mereka menyembunyikam Nathan, mengasingkan Nathan sendirian bukan hanya karena Mama Nathan adalah seorang selebritas ataupun karena Papa Nathan adalah seorang produser di industri musik ternama di Jakarta. Bukan hanya karena Gibka yang menjadi atlet tim nasional. Bukan karena mereka khawatir hidup Nathan terbatasi sebagai anak dari selebritas.
Hahaha, ternyata bukan karena itu.
"Lo gak ngerti perasaan gue waktu liat Mama tidur sama orang lain dan akhirnya ngelahirin lo, Nat!"
Mata Nathan sedikit melebar. Tidak lagi menyela perkataan Gibka. Tangan yang sejak tadi terkepal, mendadak melemas begitu saja.
Gibka tertawa kecil, penuh kebencian sambil menatap Nathan. "Gue masih kecil dan satu-satunya ingatan masa kecil gue yang masih melekat, ya, kejadian Mama yang gak sengaja gue lihat."
"Naif kalau lo mikir mereka nyembunyiin lo karena lo anak yang dibesarkan di keluarga artis dan tumbuh sebagai anak biasa. Bukan sebagai figur publik---yang katanya demi melindungi lo, biar gak di awasin media."
Nathan memalingkan wajah. "Urusan lo udah selesai, Ko?"
Gibka menyangklong tas raket badminton berwarna merah miliknya. Ia merapikan jaket Timnas yang dipakainya. "Gue ke sini cuma mau kasih tau kabar kalau Papa sakit. Itu aja."
"Lain kali lo bisa kontak gue di WhatsApp aja, gak perlu repot-repot ke sini," tukas Nathan sambil berdiri dari sofa, melangkah menjauh perlahan. "Tapi, makasih. Udah ceritain semuanya ke gue."
"Gue balik rumah dulu, thanks."
Nathan mengabaikan ucapan Gibka, masuk pada kamar mandi tamu apartemennya tanpa mengantar Gibka keluar dari apartemen. Dengan mata memerah menahan air mata, ia mencuci tangan di wastafel. Membasuh wajah beberapa kali. Menyangga tubuh dengan kedua tangan di tepi wastafel.
Napasnya menderu cepat, terengah seperti sehabis berlari. Ia menggeleng ketika momen masa kecilnya yang bermain bersama Gibka dan Mama seketika muncul di kepala. Ketika Mama beberapa kali mengunjunginya di apartemen, memasak makanan rumah untuk Nathan dan bersenda gurau.
Nathan kembali membasuh wajah dengan tangan gemetar ketika air matanya sudah menggenang di pelupuk.
Kepalanya terangkat. Ia mengambil napas dalam beberapa kali dan menatap bayangan dirinya pada cermin.
Ada sebuah cerita yang tidak sengaja Nathan baca ketika kecil dulu. Cerita tentang seeokor paus kesepian yang memiliki frekuensi 52 Hertz, lebih tinggi dari frekuensi paus normal. Paus yang berkelana dan bernyanyi sendirian di tengah laut lepas. Tanpa diketahui, tanpa dikenal.
Paus itu adalah Nathan. Jonathan Lim yang hidup sendirian di apartemen seluas 100 m² yang mewah semenjak SD dengan seorang asisten rumah tangga dan anaknya. Hanya dibekali kartu debit yang ditransfer setiap bulan oleh orangtuanya dan kartu kredit untuk membeli kebutuhan sehari-hari. <>