"Aduh, anjing. Harusnya gue minum sendirian semalem. Mana gak ada remnya kalau ngomong pas mabuk."
Nathan membuka pintu utama apartemennya sambil mengacak-acak rambut dan mengomel pelan. Namun, kemudian ia tidak melanjutkan jalan. Malah bersandar pada dinding ruang tamu.
"Karena gue lahir, dan lahirnya gue ... cuma jadi malapetaka buat keluarga gue. Jadi aib, yang harus ditutup, dikubur sampai mati meskipun tahu gue masih pingin hidup di sini."
Nathan meringis. Ia membalik badan, menempelkan dahinya pada dinding. Semakin diingat, semakin terasa menyebalkan.
"Egois, ya, kalau gue sedih denger kakak mau balik Korea tahun depan?"
Tangan Nathan terkepal. Ia membenturkan pelan dahinya pada dinding dengan mata tertutup. Berulang kali meringis dan menjerit dalam hati; harusnya gue minum beer bintang aja. Udah ngerti gak toleran miras. Gegayaan beli whiskey segala. Minum bareng Namjoon lagi.
Rasanya Nathan ingin menangis. Malu setengah mati karena bicara blak-blakan dengan Namjoon. Bahkan tadi pagi saat sarapan bersama Namjoon pun ia masih canggung.
"Jadi, mama papa lo tetep dukung apapun hobi lo, ya? Padahal, kan, mama lo penyanyi nih terus papa lo juga produser musik. Usually, anaknya diarahin ke bidang yang sama, apalagi lo anak satu-satunya."
Nathan sontak menoleh ketika mendengar suara televisi rumahnya. Ia menaikkan sebelah alis. Bibi nonton televisi?
Lantas, Nathan berjalan memasuki rumahnya.
"Iya, tentunya gue berterima kasih banget sama Mama Papa yang udah support dan nggak maksa gue buat bergelut di bidang kayak mama papa."
Langkah Nathan terhenti ketika mendengar suara Gibka dari televisi yang menyala. Dahinya mengerut.
"Jadi, lo memang didukung buat jadi atlet dari kecil, ya?"
"Bener. Makanya sebisa mungkin gue berusaha mati-matian buat mereka yang udah dukung gue dan Puji Tuhan di tahun ini, gue berhasil bawa pulang medali emas di Asian Games."
Nathan menggertakkan gigi, meremat ujung kaosnya. Percakapannya kemarin dengan Gibka masih belum bisa lepas dari kepala Nathan.
"Ya, pantes kalau dibuang sama keluarganya. Emang Mas Gibka sama Nathan udah kayak langit sama bumi. Mas Gibka juga anak kandungnya. Lah, Nathan? Anak dari hasil selingkuhan."
Bibi Gia membalas ucapan Aldo. "Hus, gak usah dijabarin gitu mentang-mentang Nathan lagi gak di rumah."
Mata Nathan berkedip cepat, wajahnya terpaling sesaat. Aldo benar. Bila disandingkan dengan Gibka, ia bukan apa-apa. Memang sedari kecil, papanya pun hanya peduli pada Gibka. Tapi, bukan masalah. Toh, sekarang Nathan sudah tahu alasannya. Bahwa ia adalah anak hasil perselingkuhan mamanya. Fakta itu sudah cukup untuk menjelaskan semuanya. Sambil menghela napas, ia kembali mengambil langkah. Berjalan menuju ruang tengah.
Bibi Gia yang melihat Nathan lantas buru-buru mematikan televisi. "Mas Nathan semalem nginep di mana?"
"Pakai aja TV-nya kalau mau nonton TV. Aku gak pernah pakai. Daripada rusak," ujar Nathan tanpa menatap Bibi Gia ataupun Aldo. "Oh, iya, Mas. Makasih," balas Bibi Gia kikuk.
"Mas Nathan sudah sarapan?"
"Udah," tukas Nathan singkat. Ia berjalan melewati Aldo menuju dapur. Ia lirik beberapa menu lauk yang sudah disiapkan di dapur bersih apartemennya. Nathan membuka kulkas lalu mengambil susu bearbrand. "Makannya buat Bibi sama Aldo aja."
"Paling gak, cobain dikit kek. Formalitas. Hargain orang yang udah masakin lo," celetuk Aldo.
Nathan yang sedang meminum susu lantas berbalik, tanpa menyudahi kegiatannya. Melirik Aldo yang protes karena disikut Bibi Gia. Ia kemudian membuang kaleng susu yang sudah kosong ke tempat sampah. Mengambil dua jamur krispi yang dihidangkan lalu melewati Bibi Gia dan Aldo tanpa menoleh. Tanpa bicara. <>