Awalnya, Aldo mematuhi perintah Nathan. Untuk segera pergi meninggalkan Nathan sendirian. Tetapi begitu sampai di depan pintu menuju dapur kotor dan ruangan untuk asisten rumah tangga, langkahnya terhenti. Aldo menarik napas dalam.
"Gue minta maaf kalau pernah biarin lo sendirian waktu lo umur 10 tahun---waktu Bu Yohanne, Pak Immanuel dan Ko Gibka ninggalin lo. Gue emang salah waktu itu. Ngira lo udah gak asik diajak main, terus lo berubah jadi diem setiap gue ajak ngobrol. Gue kesel sama lo waktu itu."
"Lo jelasin biar gue simpati gitu ke lo?" Sahut Nathan. "Gue gak butuh. Daripada lo capek-capek jelasin dan gue tetep gak peduli apapun alasan lo."
Melihat Aldo yang menunjukkan gelagat bahwa ia akan berbalik, Nathan buru-buru berucap, "gak usah balik badan. Gue udah muak liat lo."
Aldo kembali membeku di tempat.
"Gue tetep jelasin, meskipun lo gak mau dengerin alasan gue," ucapnya tenang. Masih memunggungi Nathan.
Mata Nathan berkedip cepat, ia mengadahkan kepala sebab air matanya mulai memenuhi kelopak. Memaki dalam hati Aldo yang tidak kunjung pergi. Tangannya terkepal.
"Jujur aja, gue sempet marah sama lo kemarin karena ngerendahin gue dan Ibu gue padahal gue udah niat mulai dari nol lagi sama lo. Mau ngeraih lo lagi, tebus kesalahan gue yang dulu," jelas Aldo.
"Udah lewat 4 tahun dan lo baru coba ngeraih gue, biar apa? Biar lo bisa manfaatin harta gue? Terus buang gue kayak 6 tahun lalu? Basi lo."
"Gue udah males urusan sama lo sejak lo ngerendahin gue di lift waktu itu. Malah gue sempet mikir, kalau lo emang pantes diperlakuin gini sama keluarga lo. Tapi di sisi lain ... sampe sekarang, gue gak tahan kalau liat lo kayak gini. Meskipun gue masih marah sama lo."
Nathan duduk di kursi. Membungkuk, menekan dada dengan tangan kanannya. Napasnya terembus dengan berat. Semua penjelasan Aldo seolah membuka lebar-lebar rasa sakitnya yang telah Nathan kubur dalam-dalam dengan rapi. Membuka lapisan demi lapisan. Mulai dari sesak yang ia simpan sendirian ketika Nathan berusia 10 tahun sampai hari ini, sesak ketika Mamanya tidak mau mengakui Nathan sebagai anak kandung di depan media.
"Gak usah repot-repot mulai dari nol sama gue. Lo gak ada kontribusi apa-apa di hidup gue."
Nathan berhenti sebentar. Suaranya teramat pelan, terdengar seperti bergumam.
"Lo udah selesai ngomong?"
"Nat, kenapa lo?" Tanya Aldo ketika ia menyadari suara Nathan bertambah pelan. Aldo membalik badan. Menatap Nathan yang menumpukan sikunya pada lutut dan membungkuk. Nathan tidak menggubris pertanyaan Aldo.
Sementara Nathan, masih diam bergeming. Menatap lantai marmer apartemennya sambil terus mengatur napas. Menahan air mata mati-matian. Kepala Nathan sempat dingin sesaat, seperti seluruh darah di sana turun. Badannya terasa ringan.
"Nat?"
Aldo menghampiri Nathan, duduk berjongkok di hadapan Nathan. Menatap wajah Nathan dengan saksama.
"Gue udah bilang, tinggalin gue sendiri. Lo ngerti bahasa manusia gak sih? " Ucap Nathan. Teramat pelan.
"Ayo, gue papah ke kamar. Lo pucet," balas Aldo, tanpa memedulikan ucapan Nathan. Aldo berdiri, menyentuh lengan Nathan tetapi langsung ditepis begitu saja oleh Nathan.
"Puas lo liat gue kayak gini?" Ujar Nathan tanpa melihat Aldo sama sekali.
"Lo apa-apaan, sih, Nat? Gengsi, ya, gengsi. Tapi, ini lo pucet kayak orang mau pingsan, bangsat. Kondisi lo udah kayak gini masih bisa-bisanya nyolot. Tahu diri, gue ogah gendong lo kalau pingsan," omel Aldo. Ia menarik paksa Nathan untuk berdiri. Menyampirkan lengan kanan Nathan pada bahunya sebab Nathan tidak mampu berdiri sendiri, hampir merosot.
Aldo serta Nathan melangkah perlahan menuju kamar utama tanpa saling bicara. Aldo menggigit bibir bawahnya, terus mengulang-ulang percakapannya dengan Nathan. Berharap jika ia tidak salah bicara sejak tadi.
Begitu sampai di depan pintu kamar utama, Nathan menarik tangannya. Menjauh dari Aldo yang mendadak berhenti. "Gue bisa sendiri," ucapnya pelan sambil berjalan masuk ke kamar.
"Kalau lo mau nangis, keluarin aja. Daripada lo nahan sampe mampus tapi malah kayak gini."
Nathan menutup pintu kamar. Aldo lantas menghela napas, menatap pintu kamar Nathan selama beberapa saat lalu berbalik. Mengurungkan niat untuk melangkah menjauh sebab ia mendengar Nathan terisak di dalam kamar samar-samar. Sangat pelan. Ia menoleh ke belakang, diam beberapa saat sambil mendengarkan Nathan yang sepertinya susah payah untuk meredakan isak.
Jemari Aldo terkepal, ia memalingkan wajah. Memutuskan untuk melenggang pergi meninggalkan Nathan sendirian. Membereskan botol-botol bir dan gelas Nathan di atas meja makan yang sudah kosong sambil menunggu isak Nathan mereda. Begitu seisi apartemen kembali lengang dan hening merayap, barulah Aldo kembali ke kamar. <>