"Nathan."
Dengan napas terengah dan peluh yang membasahi wajah serta tubuh, Nathan mendongak. Tangan kanannya masih menggenggam botol berisi air mineral. Ia duduk di tribun gedung olahraga sambil memakai baju tim basket Jakarta Intercultural School. Bertukar pandang dengan Eleora, gadis berkebangsaan Italia---teman satu SMAnya.
Nathan meneguk air mineralnya lalu mengalihkan pandang, bosan menunggu Eleora yang tidak kunjung bicara.
"Nat," panggil Eleora lagi. Gadis itu duduk di samping Nathan. Menyondorkan sebuah handuk kecil. Nathan melirik handuk tersebut, kemudian menoleh. Bertatap wajah dengan Eleora.
"What do you want to talk about?" Nathan meneguk air mineralnya tanpa melepas pandang dari Eleora. Mengabaikan handuk yang disondorkan padanya. "Eleora?"
Eleora tersenyum, menarik tangannya kembali. "Darn you, a cold and famous JIS boy." (Dasar, cowok JIS dingin dan populer)
"Anche così, sei affascinante."
"Say it in English," tukas Nathan singkat.
"Even so, you are fascinating." (Meski begitu, kamu mempesona)
Bulu kuduk Nathan meremang. Ia selalu tidak suka mendapat pernyataan dan pujian seperti itu. Apalagi dari seorang perempuan.
"I adore you, Nathan. I'll wait you."
Nathan menoleh, menatap wajah Eleora. Tangan Eleora bergerak, menyentuh punggung tangan Nathan.
"Mama nunggu lo dateng ke rumah, jenguk papa."
"Sampein ke mama, gue gak bakalan dateng."
"Kenapa? Gara-gara lo anak hasil selingkuhannya mama? Makanya waktu papa sakit, lo gak mau dateng ke rumah dan jengukin papa karena papa bukan orangtua kandung lo?"
Mata Nathan berkedip cepat. Memori tentang ucapan Gibka mendadak terputar. Ia buru-buru menarik tangannya yang disentuh Eleora. Berdiri dan menyisir rambutnya ke belakang.
"Masih untung papa mau nerima nama lo ditulis di kartu keluarga. Biayain lo, padahal lo cuma jadi benalu yang gak bisa berdiri mandiri."
Nathan menggeleng. "Sorry, Ra. Jangan nunggu gue. Don't wait me."
Ia kemudian langsung melenggang pergi. Melangkah menuju kamar mandi. Seseorang menahan bahu Nathan.
"What's up? You suddenly look so pale." (Ada apa? Kamu tiba-tiba terlihat sangat pucat)
Kepala Nathan tertoleh, menatap Namjoon yang dipenuhi peluh pada wajah serta lehernya. Ia memakai baju tim yang sama dengan Nathan. Menghela napas pelan, Nathan lantas menggeleng.
"I really need to pee." (Aku benar-benar ingin buang air besar)
Tawa Namjoon menggema pada seisi gedung olahraga. Matanya menyipit, lesung pipinya terlihat. Ia mendorong bahu Nathan. "Hurry up." (Cepat)
Nathan membalik badan, berjalan masuk pada kamar mandi. Mencuci tangannya sambil menggigit bibir.
Gibka tersenyum tipis. "Kenapa? Mau marah sama gue? Masih belum nyadar kalau lo itu benalu? Lagi, kalau keberadaan lo keendus media dan mereka tau lo ada hubungan darah sama mama, pasti media bakal rame. Karir gue, mama, dan papa bakalan ancur, gara-gara lo."
"Terus, ngapain lo ke apart gue, Ko? Mau mancing media biar mereka nyorot gue?" Nathan terkekeh, membela diri. "Biar gue jadi tokoh antagonis di sini yang dapat semua simpati dan kalian jadi korban?"
"Gue tegesin. Gue orang yang jadi korban di sini dan lo, harusnya gak lahir, Nat."
"Ngerasa bener lo ngomong gitu, Ko?"
"Lo gak ngerti perasaan gue waktu liat Mama tidur sama orang lain dan akhirnya ngelahirin lo, Nat!"
Nathan mendongak, menatap refleksi diri pada cermin. Poninya dibasahi oleh keringat. Ia kembali mengambil sabun, mencuci tangan berkali-kali. Sampai luka iritasi pada telapak tangannya kembali terbuka. Nathan meringis, melihat ibu jari kanannya mulai berdarah. Bahu Nathan naik turun dengan cepat. Ia mundur, menjauh dari wastafel dan menutupi ibu jarinya.<>