”nothing ever makes sense, dear"
Kepulan uap roti hangat dalam bungkus kertas di pelukanku menyapu dinginnya cuaca.
Kerincing bel bermain saling sahut menyahut menguasai wilayah yang tertutupi sepi.
Lagi-lagi dia duduk termenung sendiri menyandarkan punggung pada kursi yang dingin.
"Ingin beberapa, Tuan?"
Ku sodorkan bungkus roti hangat ku padanya, pada dia yang sekali lagi memenuhi kesendirian abadi milikku.
Matanya melekat lama sekali.
"Satu saja."
Tuan di sampingku mengambil sepotong roti dan menggigitnya kecil.
"Hangat."
Aku tersenyum mendengar gumaman nya.
Kali ini kulihat ia membawa sesuatu yang diletakkan di sampingnya.
Sepotong roti yang digigitnya telah habis dilahap.
Ia mendongak menatap langit gelap bersama rentetan kilat kilat petir.
"Nona, bagaimana menurutmu tentang seseorang yang telah membunuh 136 jiwa, melakukan 312 pemerasan, dan 625 penipuan. Pantaskah orang itu hidup setelah apa yang dilakukannya?"
Itukah yang selalu tersangkut dipikirannya?
Masalah layak atau tidaknya seseorang hidup.
"Tuan, kalau Anda mengharapkan jawaban berbeda dari tiap kebanyakan, saya tidak sepenuhnya dapat menjawab pertanyaan seperti itu. Pantaskah orang itu hidup? Saya tidak tahu, karena saya bukan Tuhan yang Maha Pemaaf."
Tuan di sampingku sekali lagi menghela napas tanpa mengalihkan perhatiannya dari langit gelap.
"Tapi, bukankah semua orang layak mendapat kesempatan kedua? Orang itu tidak terkecuali."
Gemericik air mengiringi keheningan tanpa suara di antara kami.
"Nona, Anda tidak pernah tidak membuat saya kagum. Terimakasih.."
²⁵/⁰³/²²
KAMU SEDANG MEMBACA
𝗽𝗹𝘂𝘃𝗶𝗼𝗽𝗵𝗶𝗹𝗲 [ ᴅᴀᴢᴀɪ ᴏꜱᴀᴍᴜ ] ✓
Fanfiction"ᵇᵘᵏᵃⁿᵏᵃʰ ⁱⁿᵈᵃʰ ʰᵘʲᵃⁿ ᵐᵉⁿʲᵃᵈⁱ ˢᵃᵏˢⁱ ᵖᵉʳᵗᵉᵐᵘᵃⁿ ᵖᵉʳᵗᵃᵐᵃ ᵈᵃⁿ ᵗᵉʳᵃᵏʰⁱʳ ᵏⁱᵗᵃ ᵇᵉʳᵈᵘᵃ" 𝐬𝐭𝐨𝐫𝐲 𝐚𝐛𝐨𝐮𝐭• ·˚ ༘ ➳ 𝚔𝚎𝚍𝚞𝚊 𝚒𝚗𝚜𝚊𝚗 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚑𝚒𝚍𝚞𝚙𝚗𝚢𝚊 𝚝𝚎𝚛𝚘𝚖𝚋𝚊𝚗𝚐-𝚊𝚖𝚋𝚒𝚗𝚐, 𝚋𝚎𝚛𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚝𝚊𝚗𝚙𝚊 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚎𝚗𝚊𝚕 𝚗𝚊𝚖𝚊 𝚜𝚝...