𝐏𝐃𝐌 : 2

560 46 0
                                    

PANAS SINAR MATAHARI membuatku terusik dan membuka mata. Ketika aku mengedarkan mata, pandanganku menangkapnya yang masih tertidur pulas. Wajahnya membuatku tak berhenti berdecak kagum. Bagaimana bisa Tuhan membuatnya terlihat sangat sempurna?


Pipiku kembali memanas ketika menyadari bahwa kami ada di bawah selimut tanpa memakai sehelai benang pun. Aku mendekatkan diri padanya, ku lukis punjangga pada wajah simetris dengan jemari kecilku. Senyum tambah merekah saat menyadari ada beberapa buratan kecil di lehernya. Berbanding tebalik denganku yang sangat banyak. 

Mengapa jantungku berdetak sangat cepat, bahkan ketika ia tidak sadar?

Dia adalah Dinda Rahayu, dulu adalah kakak kelasku saat di SMA. Sekarang aku sendiri sudah berkuliah semester 2 di salah satu kampus yang berada di daerah Bandung. Dia sudah semester 4, berbeda fakultas denganku.

Rasa membucah muncul ketika melihatnya membuka mata dan langsung tersenyum. Ia mendekatkan diri, menenggelamkan kepalanya pada dadaku.

“Jantungmu sangat cepat, Ita,”

Untung saja ia tak bisa melihat wajahku yang aku yakini saat ini memerah. Sedikit meretukinya, itu juga karenamu!

Aku sangat suka saat ia memanggilku dengan sebutan, ‘Ita’. Hanya ia yang memanggil begitu. Padahal aku sering dipanggil: Nadya; Kalis; Lista. Tapi tak apa, dengan begitu saja aku sudah merasakan sensasi kupu-kupu dalam perut.

Dia mendongakkan kepala. Menatapku dengan intens hingga ku merasakan kegugupan. “A-apa?”

Dinda tersenyum lalu menggeleng. Ia kembali menyusupkan kepalanya pada leherku. Rasa geli muncul ketika ia menyesap leher itu dengan lembut. Ia menjauh dan nampak tersenyum bangga. “Kau milikku!”

Aku terkekeh, bagaimana dia bisa memperjelas itu? “Tentu saja. Kau meragukanku, huh?”

Dinda mengacak rambutku. “Engga. Aku akan pergi mandi,” ucapnya sambil menggapai selimut hotel yang lain. Mataku masih mengikutinya hingga tubuh itu tenggelam dimakan pintu cokelat.

Aku menyender tubuhku pada kepala kasur. Mataku memejam. Mencoba merasakan setiap degup yang muncul dari dalam sana. Suara telepon membuatku membuka mata, lantas dengan cepat aku mengambil ponsel hitam milik Dinda. Senyumku luntur ketika melihat nama sang pemanggil. Dongkol, aku ubah handphone itu menjadi mode senyap. []

Pelangi Di MatamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang