𝐏𝐃𝐌 : 10

334 38 0
                                    

HITAM ADALAH WARNA KESUKAANKU sejak kecil. Dan entah mengapa dia kali ini melukisakan berbagai garis dengan warna hitam saja, sangat berbeda dengan biasanya; ia sangat menyukai warna pastel.

"Sini, bantu aku,"

Aku pun bangkit dari kasur dan berjalan pelan ke arahnya. Mengamati lamat pada coretan yang tak aku mengerti.

"Duduklah,"

Aku menurut dan langsung mendudukan diri pada lantai.

"Bukan di sana. Sinilah," ucapnya menghentikanku. Di pangkuannya?

"Aku berat!"

Dinda terkekeh, "Kata siapa? Kemarin bahkan aku bisa membantingmu," ucapnya dengan kerlingan nakal yang berhasil membuatku tersipu.

Dengan malu aku langsung duduk, tidak menitik beratkan seluruhnya. Kurasakan ia memijat bahu dan leherku. Setiap tekanan membuat tubuhku terasa santai, hingga tak terasa aku kini seluruhnya hinggap pada pangkuannya.

"Bantu aku menyelesaikan lukisanku,"

Aku menatap ke arahnya. Bibirku merenggut. "Aku tidak bisa, mau meledekku?"

Wanitaku malah tertawa, menyebalkan!

"Lukis saja sesukamu, aku akan selalu suka setiap hal yang kau hasilkan,"

"Kenapa seperti itu?"

"Tak ada alasan, hanya menyukai saja."

"Hmm... aneh,"

Aku menikmati setiap sentuhan jarinya pada setiap lekukan wajahku. Tanpa sadar aku menutup kedua mataku. "Memang, sangat aneh. Sampai aku tidak bisa menginggalkanmu,"

Seperti ada belati yang mendarat di jantung, lantas aku menatapnya. "Kau berencana meninggalkanku?"

Kilatan sendu mulai mewarnai mata cantik itu. "Tidakkah kamu sakit dengan semua hal yang telah aku lakukan?"

Aku sengap. Tidak tau ingin membalas apa; dikata sakit, pastilah sakit; namun akan lebih sakit jika ia meninggalkanku.

"Kumohon, bertahanlah..." pintaku sungguh-sungguh.

Aku mengangkat wajahnya yang menunduk. "Maafkan aku, seharusnya aku tidak mencium mu dulu..." Air matanya mulai mengalir dari cahaya kegemaranku. "Mari ..."

Aku memajukan kepala. Membungkam mulutnya dengan bibirku. Secara perlahan aku mulai memberikan kecupan kecil. Merasa tak ada balasan aku pun melepaskanya. Menenggelamkan kepala lelahku pada pundaknya.

"Jangan katakan hal-hal yang dapat menyakitiku, kumohon, kurasa kau cukup pintar untuk itu... dan untuk hubungan ini.. aku tak apa, please, jangan pergi, ya?"

Kurasakan elusan lembut pada suraiku. Dapat kurasakan hembusan nafasnya. Tak ada kata lagi yang terucap. Hanya ada saksi bisu keheningan yang menjadi jawaban dari semua asa yang kudambakan.

[]

Pelangi Di MatamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang