𝐏𝐃𝐌 : 9

347 38 5
                                    

SUASANA SANGAT CANGGUNG—— baiklah, mungkin hanya aku yang merasakannya.

Kini ada Rakha Gilang Dinda dan aku yang ada di mobil merah Rakha.

Bukan sekali-duakali aku menangkap Dinda mengintip kami yang di belakang melalui spion. 

Harusnya aku yang marah karena mereka langsung menjemput ku dari mimpi yang sangat indah. Awalnya aku senang ketika melihatnya saat membuka pintu. Namun sebelum aku memeluknya ada Rakha di belakang yang menerikan namaku dan langsung mengejekku seperti biasa; pendek, katanya.

Meski pertama aku bingung kenapa ada Gilang, akhirnya Rakha menjelaskan; pria itu yang mengajaknya. Aku tidak bodoh, aku tau Rakha ingin membuatku dan Gilang balikan.

Mana bisa, aku udah taken by pacarmu.












Mobil berhenti di sebuah kebun teh. Aku memutar bola mataku malas, kalau gini mending tidur!

Aku pun berjalan duluan. Kurasakan ada yang mengacak rambutku. “Kusut amat, Neng,”

Aku berdecak malas ketika mendengar suara barington Rakha. Lalu menghempaskan tangannya dari kepalaku. “Ini itu libur, harusnya istirahat!”

Rakha tertawa dan mulai melingkarkan tangannya pada pinggang Dinda. Aku mengalihkan pandangan, kembali menatap jalan.

“Jadi mahasiswa tuh jangan main kampus-kos aja! Main dong,” Kini Gilang yang menjawab dan mensejajarkan langkahnya dengan ku.

“Bener tuh kata ayang mbeb mu. Beuh, kalau nggak pacaran sama si Gilang, kamu teh mainnya cuman di halaman rumah doang!” kekehnya diikuti tawa Gilang.

“Ah, sabodo teuing, da abni nu ngajakankeun!”
: ah bodo amat, aku ini yang ngejalanin!

Aku merenggut saat rambutku berantakan karena diacak Gilang. Mataku menyalang. “Hehe, masih sama ya?”

Masa bodo, aku langsung saja merapihkan rambut. Namun tubuhku membeku saat tangan halus Dinda lebih dulu menggapainya. Aku terus menatap wajahnya, meneguk ludah ketika pandanganku malah ke bibirnya, astagaa, fokus!

“Cantik,”

Tak kuasa aku menahan senyum. Kurasakan jantungku berdebar.

Nya iya atuh, calon abdi,”

Aku mendelik ke arah Gilang yang terkekeh. Kenapa dulu aku mau bersama pria itu yah? “Jangan kepedean atuh 'A,”

Kunaha atuh, Neng?”
: kenapa?

“'Da saya mah udah di taken orang,”

“Hah? Siapa heh? Suruh ngadep babang tampan dulu!” sengit Rakha.

Ups.. mampus...

Kulihat Dinda, ia hanya diam di tempat.

Saha anu naken adek ketemu gede abdi?”
: siapa yang berhasil dapetin adik ketemu pas udah besar saya?

Aku mencoba sesantai mungkin. “Saha weh, kepo si Aa mah,”
: siapa weh, kepo Abang mah.

Mata tajam Rakha menajam. Jika saja itu adalah pisau, yakin deh aku udah ketusuk.

“Udah sih, Ka. Dia udah besar, biar diurus sendiri,”

Rakha langsung menatap tak setuju Dinda, namun akhirnya luluh ketika melihat tatapan hangat sang kekasih.

“Awas nya maneh! Bawa ngke ka urang!”
: awas ya kamu! bawa nanti ke (hadapan) saya.

Aku hanya mengidikkan bahu. Lalu berjalan duluan menuju pelataran hijau itu.

Aku menutup mata dan menghirup rakus udara yang sangat menyegarkan. Ternyata selain menyegarkan pikiran, bisa juga meneduhkan hati yang tadi melihat pasangan itu bercanda ria.

Bagaimana dia bisa se santai itu bermesraan dengan pria itu di hadapannya?















“Kamu beneran udah taken?”

Tak perlu membuka mata pun aku tahu itu suara siapa. Bagaimana cara memberitahu mantan kekasih yang sangat bebal?

“Jangan mengharapkanku, 'A.”

Helaan nafas terdengar. Kini mataku memandang ke arah depan, ke sebuah warung yang terlihat ada kelapa hijau di mejanya.

“Benaran ga ada harapan ya saya?”

“Jangan habiskan waktu untuk menungguku. Jangan bodoh,” cukup aku saja; lanjutku dalam hati.
















Api yang meliuk-liuk membawa suasana damai pada malam yang dingin ini. Namun tak cukup untuk menandingi hatiku yang kini panas melihat Rakha menyanyikan sebuah lagu untuk Dinda—— aku benci bilang ini, namun wanitaku tersipu.

“Teteh nggak kuliah besok?” tanyaku sambil memandang manik indah Dinda.

Saat bersama dengan yang lain aku memang memanggilnya dengan embel-embel ‘Teteh’.

Dinda tersenyum, “Nggak,”

Aku hanya mengangguk. Lalu kembali menatap kobaran api unggun di depan villa yang kami sewa. 
















Aku berjalan menuju halaman yang langsung mengarahkan remangnya suasana kebun. Meninggalkan kedua lelaki dan wanitaku yang sedang membuat jagung bakar.

Hangat menerpa saat kurasakan sebuah pelukan dari belakang. Wanginya membuat mataku memejam. Aku sangat menyukai wangi dari gadisku.

“Kenapa, hum?”

Masih bisa bertanya?

“Gapapa,”

Kurasakan kepala Dinda mengangguk di bahuku.

“Kenapa Gilang bisa ikut?”

“Nggak tau, tadi diajak Rakha.”

“Kamu nggak papa, kan?” tanyaku ragu.

“Nggak papa, aku tau, yang ada di hati kamu cuman aku.”

Aku tersenyum, ikut menyenderkan tubuhku padanya. “Lantas, kapan aku bisa menjadi satu-satunya juga?”

Senyap

“Udah yuk, jagungnya udah matang pasti,”

Aku hanya menghela nafas lelah. Menatap kedua tangan kami yang saling mengamit. Kata-kata penyemangat dari dalam diri mengeluar, aku membalas genggamannya dan mengikuti seluruh langkah yang ia tapaki.

[]

Pelangi Di MatamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang