Irisnya tidak behenti menatap sebuah foto kecil, yang sengaja dia simpan waktu pengambilan di lotte world tadi. Senyum nya mengulas sesaat namun kembali lagi akan berubah menjadi hampa karena tidak mampu bersama lagi. Andai wanita itu tau, Park Jimin begitu menyayangi nya sampai di detik ini. Sungguh, dia tidak mampu bisa beralih apalagi melupakan.
"Cantik sekali, anak ku juga tampan," bisiknya pelan.
Dia masih dengan nyaman berbaring di atas kasur. Satu tangan ia lipat ke bawah kepala, memandangi dua lembar foto bergantian. Kalau soal istrinya jangan ditanya lagi, dia sudah pulas membelakangi Jimin. Begitulah setiap hari, tidak ada hal manis yang dapat mereka berdua lakukan yang ada hanya perseteruan, baikan lagi lalu kembali seperti itu. Sebenarnya Jimin lelah, namun harus bagaimana lagi, semuanya sudah terlanjur.
Lima detik kemudian Irene bergerak dengan tangan nya yang kini melingkari perut Jimin lalu mengusak terus mendekat sampai pada dada bidang nya, tidur dengan sangat nyaman di sana. Pelan Jimin jauhkan tangan Irene lalu bangkit dari tempat tidur.
Dia memilih keluar kamar dan memilih untuk menyelesaikan pekerjaan di ruangan pribadinya saja. Tidak lupa kebawah terlebih dahulu untuk membuat kopi agar rasa kantuknya dapat tertahan beberapa jam karena dia akan lembur malam ini.
"Tuan. Mau saya buatkan saja?" tawar bi Nari yang kini sudah berada di dapur.
"Tidak perlu. Aku bisa sendiri Bi," sahut Jimin yang sudah menuangkan air panas kedalam gelas nya.
Bayangan itu seketika muncul, dimana saat malam hari Jimin yang lembur. Maka sang istri, Jina akan suka rela membuatkan kopi bahkan buatan nya sungguh berbeda dari yang lain, rasanya nikmat mungkin karena yang buat adalah orang yang tercinta, maka dari itu rasanya berbeda dari yang lain.
"Aku bisa membuat kopi, yang akan membuat mu bisa terjaga semalaman. Tapi jangan juga tidak tidur, Istrimu ini butuh pelukan. Mengerti suamiku sayang?" Seraya menjawil hidung Jimin.
Itu ternyata hanya kenangan yang masih tertinggal di dalam memorinya. Jimin tersenyum hambar, lagi-lagi dia begitu. Dia rindu sekali dengan tangan mungil istrinya yang lihai memasak itu, yang setia menunggunya makan malam bersama. Menyiapkan semua keperluan nya. Tuhan, Park Jimin rindu sekali momen itu, apa dia bisa kembali lagi, hidup bersama istrinya?
Selesai membuat kopi. Jimin berjalan menuju ruangan pribadinya, tepat di sebelah kamar utama. Memasuki ruangan itu dan ingat lagi pada kehampaan. Dulu, sebelum mereka bercerai, Jina selalu bermanja jika tidur nya belum nyenyak namun sudah ditinggal Jimin ke ruangan pribadinya untuk mengerjakan beberapa berkas penting.
Teringat lagi, saat istrinya dengan manja berjalan ke arahnya. Ingat sekali waktu itu, menggunakan pakaian tidur minim berwarna merah maron lalu dengan manja duduk di pangkuan Jimin seraya mengalungkan tangan dan berkata dengan manja pula-
"Kerja terus. Istrimu ini juga butuh di manja dan diperhatikan. Mari tidur, mata sipitmu perlu istirahat sayang. Jangan kerja terus, aku tidak akan menuntut harta darimu mu, jika saja kita tidak memiliki apa-apa nanti, aku akan tetap berada di sisi mu." Dengan manja lagi Jina memeluk Jimin.
Mengingat itu membuat hati Jimin terasa perih. Andai Jina tau, di relung hatinya terdapat rasa rindu yang tak mampu terobati. Ingin di peluk lagi dan memeluk lagi.
Di sesapnya kopi yang masih mengepulkan asap panas. Mulai membuka laptop nya dan mengetik beberapa pekerjaan yang harus ia selesaikan malam ini juga.
"Kenapa tidak terfikirkan ya. Ini menjadi kesempatan emas untuk ku bisa dekat lagi dengan nya," bisik Jimin saat melihat email dari sekretaris Min.
Jimin mengulas senyum. Mood nya kembali sedikit membaik dan ini mungkin akan membuatnya bisa dekat, melihatnya lagi meski tidak bisa menyentuhnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Life After Marriage (M)
RomanceEnd Tentang rasa yang tidak bisa berpaling. Bersikekeh ingin memiliki namun jalan sulit terus saja menyelimuti.