Bab 6

503 40 0
                                    

Naruto tertawa pelan. "Ya, aku tahu. Mari tunjukan kepada mereka, penggoda cilik. Tunjuk pada mereka siapa sebenarnyaa yang mati-matian kau rindukan—adikku atau aku."

Seandainya Hinata dapat menjelaskan, mungkin saat ini otaknya sudah memberikan tanda bahaya mendengar ucapan yang dingin dan tak berperasaan itu. Namun kesadaran Naruto menyadari dan melenyapkan kesadarannya.

.

.

.

Terbius, Hinata membiarkan Naruto membawanya mengelilingi lantai dansa, dan mereka berdua bergerak seri mengikuti irama musik. Slow dance itu bermacam-macam bentuknya, ada yang biasa-biasa saja, ada pula yang sensual. Yang ini jelas-jelas sensual, Hinata membatin. Bahkan lebih dari itu—

karena begitu mahirnya Naruto berdansa, Hinata bahka dapat merasakan lembut dan penuh kasih sayang sentuhan pria itu. Atau mungkin saja, Naruto hanya menjaga sopan santun ditengah-tengah orang banyak, dan Hinata keliru menganggap sikapnya itu.

Hinata memberi perintah kepada dirinya sendiri agar ia segera pergi, tapi kepalannya seolah tak mau terangkat dari bahu tegap Naruto, tempat ia bersandar seraya mengayunkan kaki. Ketika berhasil mengangkat kepala, akibat yang timbul malah lebih parah, karna menikmatinya bersirobak dengan cinta biru Naruto yang berjudi mengungkapkan satu perasaan.

"Apa kau akan melepaskan aku sekarang?" bisik Hinata.

"Tidak."

"Aku akan berontak."

"Coba saja."

"Aku akan berteriak."

"Kau akan kucium."

"Demi Tuhan!, Naruto… mengapa kau melakukan ini?"

"Menurutmu kenapa?" Naruto balas bertanya. Hinata menutup mata agar tidak perlu lagi melihat manik safir biru yang seolah-akan menembus jantungnya itu. Ia mencoba membayangkan apa yang dihadapi Naruto adalah menjengkelkan yang harus dihadapinya. Naruto harus diajak melihat kelebihan-kelebihannya sendiri sehingga ia tak lagi mengejar-ngejarnya.

Hinata membuka matanya, bertanya-tanya apa arti ucapan selamatnya. humor? Tantangan? —masa bodoh, pikirnya. "Kau pria yang sangat menarik Naruto…," ia mulai melanjarkan serangannya.

"Syukurlah kau menyadarinya."

Brengsek, Naruto bahkan sengaja sengaja dibohongi.

"Maksudku—diruangan ini ada begitu banyak wanita yang ingin berdansa denganmu—buat apa yang kau inginkan derajatmu dengan melihat manusia begini gua?"

"Menghadapimu, aku terpaksa menggunakan taktik seperti itu," kata Naruto dengan mata berkilst-kilat. "Lagi pula, aku tak ingin berdansa dengan siapapun— Hanya dengamu."

Hinata menyadari untuk mengingatkan bahwa kata-kata itu tidak ada artinya. Bahwa itu hanya bagian dari taktik untuk urusan yang belum selesai diantara mereka. Hinata juga menyadari betul bahwa cara halus tidak akan mengena untuk pria yang menyukai baja seperti Naruto. Kalau begitu, ia harus bicara blak-blakan.

" Well , aku tak ingin berdansa denganmu," katanya dengan tegas, bahkan memuji dirinya karena dapat berdusta dengan begitu mudahnya. "Jadi, ini kita harus kekonyolan sekarang juga?"

Pertannyaan itu dilontarkannya sambil menggoyangkan kepala, dan akibatnya, beberapa helai rambut lepas dari sanggulnya dan jatuh kemulutnya. Sialnya, agak lengket karna lipstik yang dipakainya, dan sehelai anak rambut itu menempel di situ.

Dengan segera, Naruto jarinya dan menarik rambut itu, sambil menatap lekat-lekat. Sikapnya pun berubah total. Tak ada lagi perhatian dan kehalusan yang menunjukkan gerakannya saat berdansa tadi, dan seluruh tubuhnya menjadi menegang, begitu pula ekspresinya.

Naruto : Love and HateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang