Bab 8

443 46 4
                                    

Tubuh Hinata mengejang. Tangisnya hampir meledak—jeritannya tak mampu diredamnya. Ia bahkan berkeinginan untu mati pada saat itu juga. Ditatapnya Naruto tanpa berkedip. Apa salahnya berbohong lagi? Toh fakta yang paling besar telah dilontarkannya. Ia telah mengatakan pada Naruto bahwa ia membencinya.

"Tentu saja," sahutnya tenang, meninggalkan kamar itu tanpa menoleh lagi.

Dimeja ruang depan ditemukannya tas tangan, dan dengan tergesa-gesa ia menghampiri mobilnya. Seperti dikejar setan, mobil sport merak itu dipacunyaa habis-habisan menuju Tokyo.

Hinata muncul di tempat tidurnya tanpa bergerak sedikit pun, menunggu lenyapnya rasa mual itu.

Duluar pohon ceri menari-nari, bunga-bunganya yang cantik bergoyang dihembus angin musim semi. Cuaca buruk bulan April itu sungguh cerah.

Rasa mual dipagi hari masih bisa ku tanggung , pikir Hinata dengan kepala pusing. Tapi sakit disore hari begini benar-benar tidak cocok dengan jadwalku! Beruntung, Sasuke sangat penuh pengertian. Ia memberi Hinata kebebasan untuk mengatur jam kerja sendiri selama kehamilannya. Jadi sekarang Hinata masuk kerja pada pukul enam pagi dan meninggalkan kantor sekitar pukul tiga—pukul empat, saat rasa mual itu mulai menyerangnya.

Dokter mengatakan bahwa gejala khas orang hamil itu akan menghilang dengan sendirinya ketika memasuki trimester kedua, tapi bahkan sekarang kandungannya sudah hampir lima bulan, dan masih saja sering merasakan mual dan muntah-muntah.

Hinata ingat betul bagaimana terguncangnya dia ketika mendapati dirinya tengah hamil.

.

.

.

Ketika baru kembali ke Tokyo saat itu, ia mengecewakan dan putusasaan yang begitu mendalam sehingga ia hampir tidak bisa bertahan. Dan satu hal yang sudah pasti—ia tak sanggup lagi bertemu dengan Naruto. Tapi Natal sudah menjelang, dan Hinata tak mungkin dikunjungi olehnya.

Maka seminggu kemudian, setelah mempersiapkan mentalnya untuk pertemuan tak terduga dengan Naruto, Hinata pun berangkat ke Konoha. Namun Naruto sudah tidak ada disana. Ia kembali ke Prancis sehari setelah pertunangan Menma.

berita, kepergian Naruto yang itu lebih baik bagi Hinata. Ia jadi lebih leluasa memunguti serpihan-serpihan kehidupan karena ia tidak sadar sekarang bahwa tidak ada harapan baginya. Hubungan mereka sudah berakhir bahkan sebelum semua itu sempat dimulai.

Minggu berikutnya ia mendapatkan tamu bulanannya, dan beberapa hari kemudian mendapatkan kepastian bahwa dirinya tengah mengandung. Sepanjang akhir pekan itu ia mengurung diri dikamarnya, membocorkan langi-langit sambil berusaha mencernakan perkembangan yang tak terduga-duga ini.

Sejak awal sudah memutuskan ia tidak akan memberi tahu Naruto—tak ada gunanya. Naruto tak akan mau direpotkan dengan konsekuensi dari kencannya , apalagi semua itu hanya untuk melepaskan hasratnya.

Hinata ragu, apakah Naruto mau menerima anak yang dilahirkan oleh wanita yang dibencinya, paling-paling yang akan diterimanya hanya uang, dan Hinata tak sudi berharap dirinya dengan mengemis pada Naruto.

Lagi pula, ia tak butuh uang, sebab bayi itu tidak akan dirawat olehnya sendiri. Setelah berpikir masak-masak, pada akhir itu ia memutuskan untuk menyerahkan bayinya pekan untuk diadopsi.

Naruto : Love and HateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang