Bab 10

395 40 2
                                    

dokter yang sedang memeriksanya.

"Tolong," pinta Hinata terengah-engah. "Bisakah aku diberi suntikan epidural?"

Bidan itu tertawa. "Epidural? Tak bisa, Miss. Sudah sangat terlambat untuk itu."

"Terlambat?"

"Ya! Bayinya sudah akan lahir! Bernafaslah seperti yang sudah di ajarkan dikelas prenatal, dan sebentar lagi saya akan meminta anda mengejan."

Rasa sakit itu semakin menenggelamkannya. Ada seseorang disampingnya yang mengelap bulir keringat di dahinya dan Hinata mendongak. Dilihatnya Naruto yang berdiri disamping ranjangnya.

"Naruto…" ktanya lemah, tapi pria itu menggelengkan kepalanya.

"Jangan berbicara dulu. Simpan tenagamu untuk si bayi. Kau tak perlu kuatir, aku akan selalu ada disini. Aku tak akan meninggalkanmu."

Oh, kalau saja itu benar—kalau saja sejak awal ia memberi tahu Naruto bahwa ia ayah dari bayinya—tapi sekarang sudah tak ada waktu lagi. Dirinya saat ini tengah dikuasai rasa mulas yang amat sangat. Ia mengejan kuat-kuat dan sekilas melihat anggukan puas dari sang dokter. Dan beberapa saat kemudian si bayi pun lahir dan langsung menangis keras-keras.

"Perempuan." Bisik Naruto ditelinganya. "Bayi perempuan yang sangat cantik."

Tangis Hinata meledak. Bayi itu diletakan di dadanya dan Hinata langsung diliputi prasaan yang sulit dilukiskan. Letih, lemah—sekaligus kuat, bahagia dan tentu saja bangga.

"Dan Papa boleh menggendongnya sebentar," kata sidokter tersenyum.

Hinata tidak berkata apa-apa. Ia memusatkan pandangannya pada kepala mungil berambut indigo yang sama dengannya yang saat ini tersandar didadanya. Masalahnya terlalu rumit untuk dijelaskan sekarang.

"Bayi ini sehat dan sempurna," lanjut si dokter. "Beratnya juga cukup, mengingat ia terlahir prematur"

Dokter itu tersenyum pada Hinata. "Apakah anda akan membatalkan rencana anda untuk membiarkan bayi ini diadopsi—sebab saat ini anda telah berkumpul lagi bersama ayahnya?"

Dunia seakan seperti berputar-putar, kepala Hinata terasa berdenyut.

Ia mendongak, dan bertemu pandang dengan Naruto. Tatapan Naruto yang sedingin es seakan-akan menembus seluruh keberadaannya. Dia tahu, Hinata mendadak sadar. Naruto tahu bahwa ia ayah dari bayiku.

"Adopsi?" Tanya Naruto. Suaranya lembut namun berbahaya.

Si Dokter terlihat bingung dan rikuh. Jangan-jangan dia sudah salah ucap, pikirnya. Dengan salah tingkah ia membalikan badan dan membersihkan tangannya lalu berjalan meninggalkan ruangan tersebut.

"Adopsi?" ulang Naruto dengan wajah beku.

Hinata tak mampu menjawabnya hanya dengan kata-kata. Ia mengangguk tanpa daya.

Tak ada jalan untuk menghindari ini. Tidak sekarang.

"Ya," katanya sambil mengangkat dagu dengan sikap menantang. "Aku berencana untuk memberikan anak ini pada orang lain."

"Begitu," jawab Naruto, dengan suara sedemikian suram sehingga membuat bulu kuduk Hinata meremang ketika mendengarnya.

Hinata tidak tahu apa yang diperkirakannya benar-benar akan terjadi. Tapi yang jelas, ia sama sekali tidak menduga bahwa reaksi Naruto hanya berupa anggukan kecil.

"Sebaiknya kau instirahat sekarang," kata Naruto pendek. "Aku akan kembali nanti."

Ucapan itu seperti vonis hukuman mati yang dibiarkan menggelantung di depan hidungnya. Hinata menyusui bayinya hingga mereka berdua tertidur. Setelah terbanguan, hinata diberi secangkir teh kental dan roti dengan selai jeruk. Kemudian seorang perawat datang dan membersihkannya.

Naruto : Love and HateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang