Senja semakin menggelap hari itu dari ujung jalan di daerah timur Jakarta. Asap knalpot bercampur debu masih bergumul di sekitarnya seakan-akan betah tinggal diam serupa dengan sebuah bangunan tua di sisi kanan jalanan. Bangunan kafe dengan barisan lampu kecil warna jingga yang menghiasi tiap bingkai jendela bercat putihnya. Sementara dua buah sepeda motor, mobil Starlet tua, dan Pajero hitam berjejer di halamannya yang tidak seberapa.
CRING!
Suara lonceng kecil yang tidak kalah usang dari atas daun pintu berbunyi nyaring ketika seorang lelaki berambut gondrong yang diikat rapi memasuki kafe. Perlahan, senyum tipis berlesung pipinya timbul. Senyum itu seakan-akan tengah membuka kenangan lama akan tiap jengkal dan detail dari bangunan kafe bekas toko buku itu.
Langkah kaki lelaki itu terdengar tiap kali sepatu kets nya menyentuh lantai kayu di bawah. Tiga buah rak besar berjejer tepat di hadapannya dengan sebuah pintu kaca yang menembus ke halaman belakang berada di kanan. Sementara satu rak penuh piringan hitam dan kaset jadul berdiri tegak di sebelah sebuah ruangan.
Dia pun lalu berhenti di hadapan meja kasir sambil mengamati papan menu yang terbuat dari papan tulis kapur bekas di atas kepalanya. Lagi-lagi, senyum kecil tidak dapat dia tahan. Rasanya seperti baru kemarin dia berada di sini. Bahkan dia ingat betul asal muasal papan tulis bekas yang kini ada di atas kepalanya itu.
"Sebentar!"
Seorang pelayan menggunakan apron cokelat tua dan topi baret muncul di hadapan lelaki itu. Wajah lelah dengan keringat yang menempel di pelipis pelayan itu tampak nyata. Sementara ekspresinya jelas kebingungan ketika menemukan seorang lelaki di akhir dua puluhan dengan tas selempang tersampir di bahunya sudah berdiri sambil tersenyum ganjil di hadapannya tanpa kata.
"Bang Dewonya mana?"
Pelayan dengan nama Apri yang tersemat di nametag nya itu terlihat mengernyit. "Oh, Masnya cari Pak Bos. Lagi keluar Mas. Mungkin setengah jam lagi baru nyampe. Masnya mau nunggu di sini atau gimana?"
"Nunggu aja," jawab lelaki itu cepat.
"Nanti saya telepon beliau dulu ya. Kalau boleh tahu dengan Mas siapa?"
"Naka. Bang Dewo pasti tahu siapa saya."
"Oke. Nanti saya sampaikan. Mau pesan makanan atau minuman, Mas?"
"Minum aja. Kata kopi yang hot satu ya. Less sugar," kata Naka sembari mengedarkan tatapannya ke ruangan kafe.
"Siap Mas. Nanti saya antar ke sana."
"Thanks," ucap Naka lantas berbalik.
Suasana kafe yang sepi malam itu membuat Naka lebih leluasa mengamati interior Rumah Kata-kata, nama kafe ini. Tidak banyak yang berubah. Mungkin hanya ada beberapa buku yang diganti baru di dalam rak-rak tinggi pada kafe yang berkonsep library café itu dan juga sofa tua berwarna cokelat yang sudah menghilang dan diganti papan fussball di dekat pintu halaman belakang.
Sementara yang lainnya masih tetap sama, begitu pun dengan lukisan itu. Naka bahkan hampir terkekeh seorang diri mengamati lukisan sok ekspresionisme berwarna tabrak lari dari salah satu dinding kafe yang jelas-jelas bertolak belakang dengan konsep kafe ini. Naka masih tidak habis pikir kenapa Dewo masih memajang lukisan amatir ini di Rumah Kata-Kata.
"Itu karya pelukis Indonesia yang katanya sekarang udah mulai dikenal di Perancis."
Cengiran lebar tidak lagi dapat Naka tahan. Jelas, dia kenal betul suara siapa yang ada di sisinya. Logat betawinya yang kental dan selalu menyebalkan saat berbicara kepadanya ternyata tidak pernah berubah.
"Gue baru tahu sekeren itu lukisan gue di mata lo," celetuk Naka sembari menoleh kepada seorang pria yang tingginya beberapa senti lebih pendek darinya itu. Sementara kemeja dan celana bahan yang dilicin rapi menyelimuti tubuhnya, dengan rambut klimis yang tidak kalah apik.

KAMU SEDANG MEMBACA
[KARYAKARSA] Ladinda dan Rumah Kata-Kata
Novela JuvenilSpin off dari cerita "LADINDA DAN LELAKI PATAH HATI" . . "Mau taruhan? Hari ini kita mungkin merasa muak sama hidup. Capek, mau marah, atau mungkin nyerah kayak yang dibilang Ladin. Gimana kalau sepuluh tahun lagi? Kita enggak pernah tahu kan gimana...