7. Tak Berperasaan

425 107 15
                                    

Troy mencondongkan tubuh dan mendekatkan wajahnya, sangat dekat, ke samping wajah Zanna. Embusan napas hangat Troy di telinga Zanna mengharuskan wanita itu meredam kengerian yang tercipta. Tubuhnya mendadak merasakan sensai panas-dingin diiringi denyut jantung yang berdentam kencang. Hasrat ingin berlari sekaligus menikmati bergemuruh di dadanya.

"Grazie," bisik Troy dalam bahasa Italia. "Sendoknya mana?" lanjutnya kemudian dan tak berniat beranjak menjauh.

Zanna mengembus napas lega. Troy hanya ingin menanyakan sendok, bodohnya ia sempat berpikir yang tidak-tidak. Suhu tubuhnya yang sempat tidak jelas sesaat tadi, kini berangsur normal. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Zanna menenangkan dirinya sendiri.

"Sendoknya di sa ...." Ucapan Zanna terhenti ketika wajahnya berpaling ke samping dan tidak sengaja menyentuh pipi Troy.

Tolol! Zanna memaki dirinya sendiri. Jantungnya kembali melompat-lompat dan perutnya mendadak mual menyadari ketidaksengangajaan yang baru saja ia lakukan. Sempat terpikir olehnya untuk mengambil tempat sampah kertas di sudut ruangan Troy untuk menutupi wajahnya, tetapi kakinya terpasung di tempat. Semburat merah mewarnai wajahnya seketika.

"Mm ... mm ...." Zanna kehilangan kata-kata dalam sekejap dan ia tampak kebingungan. Reaksi Zanna saat bertemu dengan Troy pertama kali adalah terpesona, terpikat, dan sejak malam itu instingnya menyuruhnya untuk lari menjauh. Namun, ia bertahan demi karir. Akhirnya Zanna hanya mempersulit dirinya sendiri.

"Sendok ...." Troy beringsut menjauh lalu menatap Zanna yang masih gelagapan tanpa beban bahwa ia baru saja membuat Zanna salah tingkah. "Di mana?" lanjut Troy.

"Di sini." Zanna asal menjawab.

Troy mengerutkan dahinya sambil menatap Zanna heran. Ia menurunkan pandangannya ke tangan Zanna dan tidak melihat wanita itu sedang memegang sendok. Troy sempat berpikir sendok tersebut ada di kantong blazer Zanna. Namun, ia segera menepis dugaannya. Tidak mungkin Zanna mengantongi sendok.

"Apakah saya harus makan tanpa sendok?" tanya Troy membuyarkan lamunan Zanna.

Zanna menggeleng menjernihkan isi kepalanya yang keruh. "Iya. Makan saja tanpa sendok," jawab Zanna ketus.

"Tega." Troy menatap geram Zanna. Ia mengitari meja kerja lalu duduk di kursinya. Perlahan-lahan sambil menunggu reaksi Zanna, Troy membuka kotak makanan yang dibawa Zanna. "Kamu tega melihat saya makan tanpa sendok?" tanya Troy penuh harapan.

"Kenapa harus enggak tega? Bapak juga tega menyuruh saya memasak nasi goreng untuk sarapan, tapi datangnya siang, dan baru ingat sekarang. Saya berjuang keras mendapatkan buntut sapi itu, Pak. Saya harus muter-muter nyari tuh buntut di beberapa supermarket karena stoknya sedang pada kosong. Belum lagi, memasaknya. Saya harus bangun pagi-pagi sebelum ayam jantan berkokok." Akhirnya Zanna bisa meluapkan kekesalan yang ia tahan sambil bersedekap dan menatap tajam Troy.

"Marah?" ledek Troy sambil menahan tawa.

"Enggak, Pak. Saya sedang melawak. Bapak lihat, 'kan?" tandas Zanna. Ia kemudian menarik sebelah ujung bibirnya.

Troy melihat kekesalan yang cukup kental di mata Zanna. Ia tidak melontarkan protes lagi. Tanpa pikir panjang, pria itu mencomot nasi goreng dari kotak makanan lalu menyuapkan ke mulutnya. Zanna terpangah nyaris tak percaya. Troy melakukan tantangan yang dibuatnya sendiri—makan tanpa sendok. Ia bahkan makan dengan lahap.

"Memangnya masih enak ya?" tanya Zanna ragu-ragu.

"Enak. Mau coba?" Troy menawari Zana sambil memandanginya.

Zanna menggeleng. "Tidak. Terima kasih."

Troy bangkit berdiri kemudian ia berjalan mendekati Zanna. Ia meraih tangan Zanna dengan tangannya yang bersih dari lemak nasi goreng lalu membawa wanita itu ke depan meja kerjanya. Troy menarik kursi di depan meja dan meminta Zanna duduk di sana, sementara ia duduk di tepi meja menghadap wanita itu. Tidak segan-segan Troy kembali mencomot nasi goreng.

CEO MeresahkanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang