26. Tambah Sedih

436 98 13
                                    

Zanna mondar-mandir di depan tempat tidur sambil memegang alat tes kehamilan. Ia ragu sekaligus takut untuk melakukan tes, tapi semua ucapan Donna masih terngiang di telinga. Mengingat masa menstruasinya sudah terlambat, keyakinan Zanna pada prediksi Donna semakin kuat.

Tidak mungkin. Zanna mencoba menyangkal semua dugaan. Namun, kegamangan dalam dirinya tidak bisa ia pungkiri. Ia ingat betul ketika ia bercinta dengan Troy siang itu, Troy tidak menggunakan pengaman. Apa yang bisa ia lakukan jika ia benar hamil? Pertanyaan itu terus berdengung di kepalanya.

Zanna memukul-mukul kepalanya dengan kepalan tangan sambil menyumpahi dirinya sendiri. "Tolol banget sih. Tolol!"

Malam itu menjadi malam panjang untuk Zanna. Ia bahkan tidak bisa memejam sampai pagi. Alat tes kehamilannya pun belum sempat ia gunakan. Dan ketika pagi ini ia duduk bersama Mama dan Papa untuk sarapan, perasaan Zanna menjadi semakin semrawut tidak menentu.

"Semalam kamu enggak tidur?" tanya Mama sambil mengamati wajah pucat Zanna. "Kamu juga enggak makan sarapan kamu, Zan."

"Zanna sedang menyusun rencana untuk mencari pekerjaan baru, Ma." Zanna berbohong. Ia tidak mau membuat Mama khawatir. Sementara itu, perutnya mulai bergolak melihat nasi goreng yang disajikan Mama di atas meja makan.

Sial. Zanna bangkit berdiri. Ia memutar otak mencari alasan untuk pergi dari sana secepatnya sebelum Mama dan Papa curiga terhadap kondisi tubuhnya. "Zanna baru ingat. Zanna mau balas email dulu, Mah. Zanna sarapan di kamar saja ya."

Zanna buru-buru mengambil piring berisi nasi goreng dan berjalan tergesa-gesa kembali ke kamarnya.

"Habisin sarapannya terus kamu tidur. Jangan main HP lagi, nanti kamu sakit!" omelan Papa terdengar dari ruang makan.

"Iya, Pa." Zanna menjawab untuk meyakinkan Papa.

Zanna meletakkan, nyaris melempar, piring berisi nasi goreng ke atas meja kopi di sudut kamar sebelum berlari ke kamar mandi. Suka atau tidak suka Zanna harus menerima kenyataan bahwa ia mungkin, saat ini, sedang mengalami morning sickness. Zanna keluar kamar mandi dengan lemas. Beruntung, kamar mandinya berada di dalam kamar hingga Zanna tidak perlu khawatir Mama atau Papa atau asisten rumah tangga mereka akan melihat kondisinya yang menyedihkan.

Zanna melemparkan diri pelan ke atas kasur. Selama beberapa menit ia berpikir berulang-ulang untuk menggunakan alat tes kehamilan. Rasa cemas dan takut terus menyelimuti, tetapi akhirnya Zanna memberanikan diri menggunakan alat itu dan hasilnya ... Zanna menangis bombay di sepanjang siang.

***

Mungkin bodoh memilih tidak mengatakan apa-apa pada Mama dan Papa, tapi Zanna tidak ingin menyakiti hati mereka dengan kabar buruk yang terjadi. Ia sudah mengecewakan mereka dengan membatalkan pernikahannya dengan Radit. Kini, haruskah ia menambah kekecewaan mereka dengan mengatakan bahwa ia hamil? Zanna rasanya ingin mati saat memikirkan semua itu.

Dua minggu berlalu dan Zanna masih bungkam. Kecuali pada Donna, Zanna menumpahkan semua kegelisahannya. Siang itu, di sela-sela jam istirahatnya, Donna sengaja mengajak Zanna bertemu di kafe favorit mereka. Wanita yang sudah menjadi sahabat Zanna sejak SMA itu terus mendesak Zanna untuk mengatakan masalah kehamilannya pada Troy.

"Elu kudu ngomong sama dia. Bagaimanapun, dia harus tahu kalau elu hamil, Zan," kata Donna.

"Gue enggak bisa, Don."

"Kenapa?"

"Troy udah enggak mau ketemu gue lagi."

Donna mendesah kesal. "Elu mau anak lu lahir enggak ada bapaknya? Elu pikir jadi single mom itu gampang? Elu egois, Zan. Elu enggak mikirin nasib anak elu nanti. Gimana kalau nanti dia nanya soal bapaknya? Apalagi, sekarang mulut bocil juga udah pada pinter nge-bully. Gimana kalau anak elu nanti diledekkin, sorry ya, anak haram atau anak enggak punya bapak? Elu mau ngomong apa sama anak elu?"

CEO MeresahkanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang