1. For The Second Time

1.4K 48 3
                                    

Hi, guys ini cerita pertama aku di wattpad jadi maklumlah kalo ceritanya agak weird. Semoga suka ya okay langsung aja kita masuk ke part 1 enjoy :)

"Jam berapa ini? Dan kau baru pulang? Apa maumu sebenarnya? Kau selalu saja begitu tidak pernah berubah selalu keluyuran setiap hari. Pulang larut malam seperti ini, kalau kau tidak suka berada disini pergilah sana tidak usah kembali lagi."

PLAKK...

Teriakan dan bentakan menusuk telingaku. Kulihat jam dinding yang tergantung rapi di kamarku. Pukul 12 malam dan kakakku baru saja pulang. Sebenarnya teriakan dan bentakan seperti itu memang tidak mengagetkan lagi bagiku. Itu seperti sudah menjadi kebiasaan bagiku. Will selalu pulang larut malam dan ayah telah menanti kepulangannya seperti macan yang siap menerkam mangsanya. Bahkan, terkadang diwarnai aksi penamparan, pemukulan dan kekerasan lainnya. Namun, Will selalu diam tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Tak ada perlawanan yang ditunjukkannya hanya sesekali Will menatap tajam mata hitam pekat Fred Wesley, ayah tirinya itu.

"Ini rumahku kau tidak berhak mengusirku." sahut Will kemudian dengan tegas membuat perdebatan kali ini terasa lebih berbeda.

Aku penasaran apa reaksi ayah? Aku mengintip dari kaca jendela kamarku melihatnya sejenak Will yang masih menatap jauh ke dalam mata Fred. Sementara emosi ayah telah memuncak. Wajahnya merah padam seperti bom yang sebentar lagi akan meledak.

Fred yang geram mendengar bantahan Will mendaratkan sebuah pukulan tepat di pipi Will. Diikuti dengan sebuah tendangan kaki kanan Fred yang mendarat tepat di perut Will membuatnya terdorong ke belakang dan terjatuh ke lantai. Terdengar suara benturan tubuh Will dengan lantai yang begitu keras membuatku kasihan padanya. Namun, ia segera bangkit dan siap untuk mendaratkan sebuah pukulan balasan.

"STOP!!! STOP!!!" Teriak Anne Jaqcuiline ibuku sambil menahan tubuh Will yang telah bersiap mendaratkan pukulan pada Fred.

"Kenapa Anne? Dia pantas mendapatkannya. Dia harus diberi pelajaran dia mulai membangkang." Belum selesai Fred menyelesaikan kata-katanya, Will meninggalkan Anne dan Fred menuju ke kamarnya tanpa mempedulikan mereka.

Kamarnya berada tepat di sebelah kamarku ia harus melewati kamarku sebelum ke kamarnya.

"Kau baik-baik saja?" tanyaku keluar dari kamarku tempat dimana aku mengintip semuanya tadi.

"Tentu." katanya singkat tanpa menatapku. Ia tampak tidak mempedulikanku.

Krak...

Terdengar suara pintu kamar Will berdencit. Ia segera masuk kamar dan mendorongnya dengan keras sehingga tertutup kembali.

Aku kembali ke kamarku untuk beristirahat. Ku raih jam beker berbentuk hati yang selalu kuletakkan di atas meja yang terletak tepat di sebelah tempat tidurku. Kuatur jam bekerku pukul 5 pagi. Setelah itu kucoba menutup mataku perlahan dan mulai terlelap.

Kringgggg.... Kringggg.....

"Hoammmm...." Kumatikan jam bekerku dan ku usap mataku sejenak dan mengumpulkan rohku yang seperti masih belum berkumpul sempurna di tubuhku.

Beberapa menit kemudian ku dengar teriakan histeris ibu yang memekakkan telingaku. Langsung aku loncat dari tempat tidurku dan mendekat ke arah suara teriakan ibu tadi sepertinya suara itu berasal dari kamar Laura Wesley, adikku. Terlihat pintu kamarnya telah terbuka lebar.

"Apa yang terjadi bu?" tanyaku kaget melihat Laura yang telah tergeletak di lantai dekat tempat tidurnya. Di sebelahnya terlihat ibu yang telah meneteskan air matanya membasahi pipinya. Disampingnya ada ayah yang berusaha memboyong Laura. Ia seperti orang pingsan tidak tampak darah menetes dari tubuhnya ataupun semacam luka.

"Ayo Tricia kita harus segera membawanya ke rumah sakit. Bangunkan Will." perintah ayah padaku. Aku tak bisa berkata sepatah katapun aku masih kaget sekaligus tidak percaya akan apa yang kulihat di depan mataku barusan. Aku hanya bisa menjawab perintah ayah dengan anggukan.

"Will BANGUNN!!!" teriakku sambil menggedor pintu kamar Will kakak tiriku. Will merupakan anak dari Darrel Dougles. Suami pertama ibuku. Namun, ibu tidak pernah memberitahuku lebih jauh tentang Will.

"Berisik sekali kau ini. Ini masih pagi." kata Will yang baru muncul dari balik pintu kamarnya dengan nada sebal.

"Ayo kita harus segera ke rumah sakit." Kutarik lengan Will tanpa mempedulikan jawaban Will.

Kulihat ayah telah bersiap didalam mobil aku dan Will langsung naik ke atas mobil.

"Apa yang terjadi?" tanya Will begitu melihat Laura tidak sadarkan diri.

"Ibu tidak tahu. Tadi pagi ibu melihatnya tergeletak di dekat tempat tidurnya." sahut ibu dengan nada gemetaran. Ia sangat panik. Itu semua jelas terlihat saat aku menatap matanya lebih dalam.

Beberapa menit kemudian kami sampai di Rumah Sakit.
Ibu segera menggendong Laura keluar dari mobil dan berlari menuju Ruang UGD.

Setelah menidurkan Laura di tempat pemeriksaan UGD.

"Maaf ibu. Sebaiknya ibu menunggu di luar." kata seorang pria bertubuh tinggi yang mengenakan jas putih sepertinya ia adalah dokter.
Akhirnya kami menunggu di luar sampai akhirnya dokter keluar.

"Maaf, ibu anak ibu telah meninggal dunia." kata-kata yang dikatakannya perlahan namun begitu menusuk hatiku. Detak jantungku tak karuan. Aku tak percaya akan keyataan yang menimpaku. Seminggu sejak kematian misterius adik bungsuku Steve dan kini giliran Laura dengan cara yang tidak jauh berbeda.Aku seperti tak memiliki energi lagi untuk menopang tubuhku agar tetap berdiri aku terduduk di kursi yang berada tepat di belakangku. Perlahan air mataku membasahi pipiku. Begitu juga dengan ibu ia hampir pingsan mendengar kata-kata dokter sementara ayah terlihat frustasi dan langsung berlari masuk untuk melihat kondisi Laura yang sudah tak bernyawa. Kulihat Will tampak terdiam walaupun ia tidak terlihat menangis, dari matanya terlihat ia sangat shock.

Keesokan harinya, adalah hari pemakaman Laura. Dengan sekuat tenaga aku berusaha menopang tubuhku agar tetap kokoh berdiri. Setelah prosesi selesai aku pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan tidak ada sepatah katapun yang keluar baik dari mulut ayah, ibu atau Will. Hanya tetesan air mata ibu yang terus mengalir. Sementara ayah fokus mengemudi dan Will ntah apa yang dipikirkannya.

Sesampainya dirumah hari mulai senja aku mengganti bajuku dan minum segelas air putih untuk menenangkan pikiranku. Daripada aku gelisah di dalam kamarku. Aku memutuskan untuk duduk di dekat kolam renang mungkin melihat warna biru jernih air kolam renang bisa membuatku lebih tenang.

'Apa yang terjadi sebenarnya? Seminggu yang lalu Steve, adik bungsuku meninggal secara misterius dan kini giliran Laura, adikku yang lain yang meninggal juga bahkan dengan cara yang sama. 

Ya secara misterius bahkan dokter tidak bisa menyimpulkan penyebab kematian Steve dan Laura.

Apa yang akan terjadi selanjutnya?

Apa aku akan bernasib sama seperti mereka?

Apakah seminggu lagi aku juga akan meninggal secara misterius seperti Steve dan Laura?

Tidak, tidak mungkin.' kataku berkecamuk dalam pikiranku.

"Apa yang kau pikirkan" Sebuah suara yang dingin terdengar khas di telingaku. Sepertinya Will. Aku menolehkan kepalaku ya benar suara itu adalah suara Will ia terlihat duduk tepat di sebelahku. Jarang sekali ia mengajakku berbicara. Sepertinya kali ini ia sedikit kesepian.

"Tidak ada" jawabku pelan.

Sweet RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang