Dua

380 34 1
                                    

Hari sudah malam saat Diaz pulang dari kerja kelompok. Ia sempat melirik jam yang ada di dinding ruang tamu sebelum menjatuhkan tubuhnya di kursi ruang tamu dan menyandarkan tubuhnya di sana. Kepalanya serasa berputar dan dia bisa merasakan napasnya mulai panas.

"Bu, kepala Diaz pusing." Ibu yang tengah menyetrika baju berlari tergopoh-gopoh mendengar keluhan putra semata wayangnya. Punggung tangannya ia ulurkan ke dahi Diaz.

"Astaga!"

Punggung tangannya yang bersentuhan dengan dahi Diaz seolah baru saja bersentuhan dengan panci di atas kompor berisi air panas mendidih. Ibu segera berlari ke dapur, mengambil air hangat untuk mengompres anaknya. Ketika kembali, anaknya sudah bergelung di kursi dengann mata terpejam dan tubuh menggigil.

"Bu, dingin." Diaz mengeluh pada ibunya di ambang batas kesadarannya. Ibu semakin panik melihat Diaz menggigil seperti itu.

"Kok bisa gini, sih, Nak? Tadi kehujanan apa gimana?" tanya Ibu panik, tapi dia tidak mendapatkan jawaban apa pun dari anaknya selain keluhan pelan yang mengatakan dia pusing, kedinginan dan mual.

Dengan seluruh tenaga yang ia punya, Ibu merubah posisi tubuh Diaz yang awalnya meringkuk menjadi telentang di kursi ruang tamu, kemudian mengompres dahi Diaz. Rintihan pelan keluar dari bibir Diaz yang pucat, membaut Ibu semakin khawatir dengan kondisi anaknya. Diaz bukan tipe anak yang gampang sakit, dalam setahun sakit Diaz mungkin bisa dihitung dengan jari tangan kanan saking jarangnya. Melihat Diaz kesakitan hingga seperti ini membuat Ibu ketakutan.

Ibu tiba-tiba teringat dengan obrolan tetangga yang mengatakan jika orang demam diberi larutan garam agar tubuhnya bisa berkeringat. Entah benar atau tidak, Ibu segera berlari ke dapur, membuat larutan garam menggunakan air hangat dan segera kembali ke ruang tamu.

"Diaz, minum ini dulu, ya?" tawar Ibu dnegan suara bergetar, air mata sudah menggenang di pelupuknya, tapi dia berusaha menahannya. Dia tidak boleh cengeng hanya karena masalah seperti ini. Diaz pasti baik-baik saja, dia hanya demam.

"Diaz?" Diaz terlihat bergerak-gerak, dengan cekatan Ibu sedikit mendudukkan tubuh Diaz dan meminumkan larutan garam itu pada putranya, berharap omongan tetangga itu benar dan besok Diaz sudah sembuh.

Namun, sepertinya pikirannya salah. Dia sudah mencoba segala cara untuk menurunkan demam Diaz, tapi setelah lewat tengah malam, demam itu tidak juga turun, bahkan terasa semakin panas di punggung tangan Ibu. Diaz terlihat semakin menderita. Ibu hendak menghubungi Ayah saat laki-laki paruh baya itu muncul di ambang pintu dengan raut lelah. Dia kaget melihat anaknya tengah terbaring di kursi dengan istrinya yang tengah menangis sambil menatapnya.

"Diaz kenapa, Bu?"

"Demam, Yah. Tinggi sekali. Udah Ibu kompres, kasih larutan garam, tapi gak turun-turun, malah makin parah kayak gini." Ibu mengatakan kalimat itu dengan berlinang air mata, benar-benar ketakutan sekarang.

"Gak punya obat demam, Bu?" Ibu menggeleng. Ayah mendesah keras. Ini sudah lewat tengah malam, klinik di kampungnya sudah tutup, mereka tidak buka 24 jam. Dia tidak mungkin membawa Diaz ke rumah sakit.

"Tunggu sini, Bu. Ayah belikan obat di apotek." Ibu mengangguk patuh, membiarkan Ayah berjalan keluar setelah meminta Ayah untuk berhati-hati di jalan. Sepeninggal suaminya, Ibu kembali membasahi handuk yang ia gunakan untuk mengompres badan Diaz dan meletakkan handuk itu di kening anaknya.

"Ibu, tolong, Bu. Dingin," rintih Diaz dengan tubuh menggigil, padahal Diaz sudah mengenakan selimut dan jaket tebal. Mendengar anaknya kedinginan, Ibu segera berlari mengambil selimut di kamarnya dan meletakkannya di atas selimut yang sudah menutupi tubuh Diaz. Sambil menunggu Ayah, Ibu terus mengompres dahi Diaz, sesekali menghapus air mata yang entah sejak kapan mengalir.

Till Last Breath ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang