Ibu dan Ayah saling berpegangan tangan. Untuk pertama kalinya Dokter Aldo dan Dokter Nathalie meminta mereka untuk berkumpul segera, bahkan di waktu yang tidak pernah mereka duga. Jarum pendek jam di dinding ruangan Dokter Aldo baru saja berganti menunjuk dari sepuluh ke sebelas. Bukan siang. Ini malam, hampir tengah malam.
"Apa kondisi Diaz sangat parah?" tanya Ayah setelah menunggu cukup lama.
"Penderita kanker memang lebih peka dibandingkan dengan pasien yang lain. Pikiran mereka juga lebih mudah stres. Hal ini juga yang menjadi faktor memburuknya kondisi tubuh Diaz. Seperti yang sudah saya jelaskan pada Ibu dan Bapak tadi sore, kondisi Diaz kritis. Sampai sekarang pun dia belum keluar dari fase itu, tapi, di sini saya ingin menyampaikan berita yang mungkin bisa membantu proses pengobatan Diaz."
"Apa, Dok?"
"Beberapa waktu lalu kita sudah melakukan tes kecocokan sum-sum tulang belakang, kan, Pak, Bu? Dari sini saya melihat sum-sum tulang belakang milik Bapak cocok dengan milik Diaz meski prosentasenya belum sembilan puluh persen."
Ibu dan Ayah saling pandang. Genggaman tangan mereka semakin kuat. Itu berita baik. Sum-sum tulang belakang milik Ayah cocok dengan Diaz. Ayah bisa memberikan sum-sum tulang belakangnya untuk Diaz dan prosentase kemungkinan Diaz sembuh bisa semakin tinggi.
"Saya akan memberi tahu Bapak dan Ibu waktu untuk berdiskusi karena operasi ini pasti akan menimbulkan efek samping baik bagi penerima maupun pendonor."
"Efek sampingnya apa, Dok?"
"Prosedur pengambilan sum-sum tulangnya sendiri sebenarnya tidak lama, biasanya memakan waktu satu jam tapi untuk pemulihannya membutuhkan waktu paling cepat satu minggu. Saya sarankan Bapak mengambil cuti selama proses pemulihan itu."
"Kalau untuk Diaz? Efek sampingnya apa ya, Dok? Apa dia akan kesakitan?"
"Kemungkinan besar iya karena proses ini akan menggantikan sum-sum tulang yang lama. Anemia parah itu pasti, dia akan lebih mudah infeksi, tapi setelah sum-sum tulang itu berhasil menggantikan sum-sum tulang Diaz, kemungkinan dia sembuh akan semakin besar, Pak."
"Kapan saya bisa mendonorkan sum-sum tulang belakang saya?"
"Secepatnya, Pak. Meski Diaz belum bisa menerimanya sekarang, sum-sum tulang belakang itu bisa disimpan sampai kondisi Diaz memungkinkan."
"Baik, kalau bisa dilakukan besok, silakan lakukan besok. Saya siap kapan pun itu."
Mereka keluar dari ruangan Dokter Aldo setelah mendengarkan beberapa penjelasan yang lain. Sepanjang jalan menyusuri lorong menuju ruang rawat Diaz, Ibu hanya bisa menatap Ayah dengan mata berkaca-kaca. Dia sangat ingin Diaz sembuh, tapi jika harus melihat suaminya menderita, dia juga tidak tega. Apalagi Ayah harus bekerja. Sadar akan tatapan Ibu, Ayah hanya bisa balas menatap sambil tersenyum.
"Semua akan baik-baik saja, Bu. Diaz pasti sembuh. Bantu doa, ya, Bu?" Pasrah, Ibu mengangguk, membiarkan air matanya mengalir di kedua pipinya tanpa isak.
💊💉💊💉💊💉
Ayah tidak pernah sesemangat ini untuk berangkat kerja sebelumnya. Pagi hari, bahkan sebelum matahari terbit ia sudah mengendarai motor bututnya membelah jalanan Jakarta. Tidak terlalu padat memang, jalanan ini baru akan dipenuhi kendaraan sekitar pukul enam. Ayah bersyukur bisa sampai di kantor sebelum itu.
"Wah, Pak Ari, tumben pagi-pagi udah bersih-bersih?" Ayah menghentikan kegiatannya, mendongak sejenak untuk melihat siapa yang baru saja menyapanya. Senyumnya timbul ketika menyadari Aryo, atasannya, tengah menatapnya sambil tersenyum.
"Iya, nih, Pak. Nanti mau izin pulang cepet soalnya."
"Diaz kenapa, Pak?"
Nada suara Aryo berubah khawatir. Dia memang mengetahui tentang penyakit Diaz. Tidak hanya dia sebenarnya, hampir semua orang yang mengenal Ayah sudah mendengar soal penyakit Diaz. Tak jarang mereka mengulurkan tangan untuk membantu pengobatan Diaz.
KAMU SEDANG MEMBACA
Till Last Breath ✔
Fiksi UmumJour Pour Moi's Sequel Book of Diaz Diaz, 14 tahun, selalu bermimpi suatu saat komiknya akan ada di toko buku. Ia juga bermimpi bisa bersekolah di tempat terbaik tanpa biaya. Dia berharap bisa segera menghasilkan uang untuk kedua orang tuanya. Sayan...