Delapan

219 19 1
                                    

Diaz membuka matanya dengan sangat pelan, lengket, seperti ada lem super di kelopak matanya yang membuat kelopak itu enggan terbuka. Namun, begitu matanya sudah terbuka, Diaz hanya bisa menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat, kesal. Dia pikir hari sudah sangat siang, tapi ternyata masih sangat gelap, entah pukul berapa saat ini.

Diaz mencoba bangun dari tidurnya. Tenggorokannya terasa kering dan sakit. Ia butuh minum. Begitu berhasil duduk, Diaz justru memejamkan matanya erat-erat. Sensasi pusing menderanya begitu kuat, ranjangnya serasa bergoyang dan tubuhnya mendadak lemas. Diaz tidak mengerti apa yang tengah terjadi dengan tubuhnya ini.

Perlahan, dengan seluruh tenaga, Diaz menggerakkan tangannya ke atas nakas, tempat teko air minum dan gelasnya berada. Dia menuangkan sedikit air di gelas itu dan menghabiskannya hingga tandas, berusaha meredakan rasa sakit di tenggorokannya.

Pandangan Diaz tanpa sengaja mengarah pada ranjang Nico. Teman satu kamarnya itu masih tidur dengan sangat lelap. Tentu saja, hari juga masih gelap. Diaz berniat kembali tidur, tapi kepalanya kembali pusing. Perlahan tangan Diaz menyentuh kepalanya yang terasa pusing itu, berniat memijitnya pelan. Tiba-tiba rasa panas menjalar ke tangannya yang bersentuhan dengan keningnya.

"Ah, jadi aku demam," batin Diaz menyadari apa yang membuat tubuhnya tidak enak. Mendadak dia ketakutan. Tubuhnya yang suka semaunya sendiri membuat Diaz takut jika sewaktu-waktu dia tidak bisa terbangun saat tidur. Air matanya mendadak mengalir. Dia ingin sekali membangunkan ibunya, berharap sang Ibu memeluknya dan mengambil rasa takutnya, tapi melihat ibunya yang tertidur pulas dengan kepala di sebelah tangannya membuatnya tidak tega membangunkan.

Diaz memilih Diam, bergelung di balik selimut yang membungkus tubuhnya dengan rapat hingga sebatas dada. Tubuh itu mulai gemetar, kedinginan. Diaz juga merasa ruangannya bertambah dingin dan kepalanya semakin pusing. Saat ia membuka mata, langit-langit di atasnya berputar. Air mata Diaz semakin deras mengalir, antara sakit dan ketakutan.

Ssshh...

Diaz meringis pelan sambil memijat pelan pelipisnya lalu perlahan ia memejamkan matanya, menikmati sensasi pusing, hidung gatal dan dingin yang menyerang bersamaan. Perlahan Diaz memasuki alam mimpinya kembali.

💉💊💉💊💉💊

"Diaz?" suara dan tepukan pelan di tangannya membuat Diaz membuka perlahan. Lagi rasa pusing kembali Diaz dapatkan, matanya kembali tertutup di sertai kernyitan di dahinya. Tubuhnya masih menggigil kedinginan, bahkan semakin menggigil sekarang.

"Diaz, hei kamu kenapa?"

Lagi, panggilan pelan disertai usapan lembut di pipinya membuat ia mau tak mau membuka mata meski dengan rasa pusing yang semakin menyiksa. Dilihatnya orang yang memanggilnya tadi, Dokter Aldo dan juga Dokter Nathalie berdiri di sampingnya dengan tatapan khawatir. Diaz mengerutkan keningnya bingung, dia ingin bergerak tapi kepalanya terasa sangat berat untuk di gerakan. Rasa pusing semakin menyiksanya.

"Kepalaku pusing, bu," ringis Diaz, kembali memejamkan matanya, untuk mengurangi rasa pusingnya. Tanpa sadar dia membawa tubuhnya meringkuk di balik selimut, dia kedinginan, sangat.

"Dokter periksa dulu, ya?"

Dokter Nathalie memeriksa kondisi Diaz dengan cekatan. Ia tersenyum menyadari pasiennya tengah flu. Dibelainya puncak kepala Diaz yang berkeringat itu.

"Kamu Flu, Diaz. Hari ini gak boleh main ke taman, ya? Di kamar aja!" Diaz mengangguk pasrah. Lagipula dengan kondisi seperti ini mau ke mana lagi dia. Ibu terlihat sedikit tenang begitu mendengar hasil pemeriksaan dari dokter Nathalie.

Nico yang justru menatapnya semakin sendu. Diaz hampir lupa, hari ini mereka seharusnya bermain bersama dengan Kak As. Kakak itu berjanji akan membawakan game terbaru miliknya yang baru dibelikan oleh Rashka, kakaknya Kak As.

Till Last Breath ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang