Sejak meninggalkan rumah Diaz, Fachry terus memeluk tas punggungnya tanpa mengizinkan siapa pun untuk memegangnya. Dia bahkan memangku dan memeluknya dengan posesif ketika di dalam angkot. Di dalam tas itu, ada hadiah dari sahabatnya yang belum dia tahu apa isinya. Diaz terus melarangnya membuka kado itu sebelum sampai rumah. Sahabatnya itu juga memintanya untuk membuka kadonya ketika tidak ada siapa-siapa, membuatnya semakin penasaran saja dengan isi di dalam kado itu.
Sampai di rumah, Fachry langsung berlari masuk ke dalam kamarnya. Ia bahkan menutup pintu dan mengunci kamarnya dua kali agar tidak ada satu orang pun yang masuk ke kamarnya. Sambil menarik napas dalam berkali-kali, Fachry mengeluarkan kado pemberian Diaz dari dalam tasnya.
"Diaz, kadonya aku buka, ya?" monolog Fachry meminta izin sambil menatap ke arah langit-langit kamar, seolah Diaz ada di sana melihatnya. Ia bahkan tanpa sadar merapal doa terlebih dahulu sebelum membuka satu per satu selotip yang merekat di kertas kado. Dia merasa sayang untuk merobeknya langsung.
"Wah! Ini kan..." kalimat Fachry menggantung begitu saja saat melihat secarik kertas meluncur jatuh tepat di samping kaki kanannya. Tangan Fachry terjulur, mengambil kertas itu dan membacanya dalam hati.
Hai, Fachry.
Makasi udah jadi temen terbaikku selama ini dan membuatku semangat untuk terus berjuang. Ini komik pertamaku yang udah aku janjiin dulu. Kamu pembaca pertamanya. Selamat membaca. Aku akan buatkan lanjutannya segera. Tunggu, ya...
"Ya Tuhan, Diaz. Kapan kamu sempat menggambarnya?" bisik Fachry dengan suara bergetar. Dia membayangkan perjuangan keras Diaz selama di rumah sakit, menjalani seluruh proses pengobatan yang pastinya sangat menyakitkan, tapi dia masih sempat menggambar dengan sangat baik, bahkan menyelesaikan komiknya. Tanpa sadar, air mata Fachry menetes, membasahi surat yang masih ia pegang dengan erat.
"Teruslah sehat, Diaz. Teruslah menjadi sahabatku. Terima kasih banyak."
💊💉💊💉💊💉
Enam bulan kemudian
Jam di kamar Diaz sudah menunjukkan pukul 2 pagi, tapi anak itu masih belum juga membaringkan tubuhnya ke tempat tidur. Lampu kamarnya bahkan masih menyala. Dia sendiri tengah duduk di depan meja belajarnya, sibuk dengan pensil dan buku gambar.
Merasa tenggorokannya kering, Diaz meraih gelas berisi air mineral yang sengaja ia letakkan tak jauh dari jangkauannya. Itu sudah gelas ke limanya malam ini. Entah kenapa ia terus merasa tenggorokannya kering, bahkan kini disertai pusing. Ia juga merasa kepanasan sejak tadi, padahal kipas angin terus mengarah padanya.
"Tunggu, ya? Dikit lagi selesai," ucap Diaz pada dirinya sendiri. Ia memijit pelan tengkuk dan pelipisnya, mencoba meringankan pusing yang semakin lama semakin mengganggunya. Kini, tidak hanya pusing, badannya juga gemetaran dan jantungnya berdetak tak beraturan. Mendadak, Diaz ketakutan. Dia sudah sembuh, 'kan? Tuhan tidak mungkin sejahat itu dengan membawanya kembali ke rumah sakit bahkan sebelum ia bisa kembali sekolah, kan?
"Ayo, Diaz! Semangat! Jangan mau kalah!" Diaz kembali meraih pensilnya, menggenggamnya dengan sekuat tenaga, berusaha mengembalikan kekuatan jemarinya sebelum kembali menggoreskan pensil itu di atas kertas. Sesekali ia berhenti, mendongak untuk mengurangi pusing yang semakin menjadi atau menenggak air dan kembali melanjutkan kegiatannya.
Tepat pukul 4.30, ketika adzan subuh berkumandang, Diaz menutup buku gambarnya sambil mendesah lega. Komik yang ia kerjakan selama berbulan-bulan ini akhirnya rampung juga. Dia benar-benar tidak sabar untuk menunjukkannya pada Fachry.
Dengan langkah lunglai, Diaz berjalan menuju saklar lampu, mematikannya sebelum menjatuhkan tubuhnya ke atas tempat tidur. Baru akan memejamkan mata, Diaz merasa ada sesuatu yang melesak keluar dari rongga hidungnya. Diaz langsung bangkit, tapi alih-alih melihat apa yang keluar dari sana, Diaz justru membeku di tempatnya, membiarkan cairan kental berwarna merah itu mengalir, menetes di pakaian dan selimut putihnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Till Last Breath ✔
Ficción GeneralJour Pour Moi's Sequel Book of Diaz Diaz, 14 tahun, selalu bermimpi suatu saat komiknya akan ada di toko buku. Ia juga bermimpi bisa bersekolah di tempat terbaik tanpa biaya. Dia berharap bisa segera menghasilkan uang untuk kedua orang tuanya. Sayan...