Diaz selalu percaya dengan adanya keajaiban, seperti pagi ini. Ia terbangun dengan tubuh luar biasa ringan, seolah dia tidak pernah sakit sama sekali. Biasanya, begitu membuka mata, sensasi pusing pasti akan menyambutnya, lengkap dengan lemas yang setia menguasai tubuhnya. Namun, kali ini berbeda. Ia bahkan bisa menghabiskan sarapannya tanpa banyak protes.
"Semangat banget hari ini? Biasanya kalo mau kemo pasti ada aja keluhannya," celetuk Ibu yang keheranan melihat tingkah putra semata wayangnya. Diaz sendiri hanya terkekeh sambil memainkan robotnya bersama dengan Nico.
"Ya udah, Ibu berangkat kerja dulu, ya? Jangan bandel, kasian suster-suster di sini kalo kalian bandel terus."
"Iya, Bu. Ati-ati. Pulang bawakan es krim, ya?"
"Oke!"
Diaz dan Nico kembali memainkan robotnya, sesekali melirik Archie yang masih terlelap sambil menebak-nebak dalam hati kapan anak itu akan bangun dan bermain dengan mereka lagi. robot pemberian Rashi bahkan masih ada di dalam almari Diaz, menunggu pemiliknya bangun untuk diserahkan.
"Wah, yang mau dikemo udah seger aja, nih?" Kali ini ganti Suster Risha yang menyapanya sambil mendorong kursi roda. Di belakangnya, Dokter Aldo dan Dokter Nathalie juga tersenyum ramah padanya. Dokter Aldo bahkan langsung mengulurkan genggaman tangannya, menunggu disambut oleh Diaz dan Nico bergantian.
"Kondisinya bagus banget, stabil. Siap kemo, 'kan?" tanya Dokter Nathalie setelah memeriksa Diaz. Anak itu mengangguk saja, masih asik memainkan robot miliknya.
"Ya udah. Nico, kita tinggal dulu, ya? Kamu nanti juga ada cuci darah, jangan kabur!"
"Siap, Dok!"
Suster Risha mendorong kursi roda Diaz dengan santai, sesekali menyapa pasien dan keluarga mereka yang kebetulan berpapasan dengannya. Tak jarang, Diaz ikut menyapa mereka dengan riang. Jarang sekali mood-nya sebagus ini, dan dia berusaha untuk mempertahankan mood itu hingga akhir.
"Tuh, udah ditunggu Kakek Rudi, tuh!" kata Suster Risha sambil menunjuk kakek yang tengah menjalani kemoterapi sambil menatap ke arah jendela.
"Pagi, Kek!" teriak Diaz riang, tapi dia tidak mendapatkan jawaban apa pun. Jangankan dijawab, dilirik pun tidak. Diaz maklum, sudah sangat sering diacuhkan oleh kakek itu. Dengan gerakan cepat, Suster Risha menyiapkan peralatan kemo Diaz. Bahkan, dalam hitungan menit selang kateter Diaz sudah dialiri cairan kimia itu.
"Kak As kemo hari ini juga? Asik! Ada temennya!" teriak Diaz kegirangan melihat Rashi memasuki ruang kemo dengan didorong oleh Rashka. Di sampingnya, Suster Nina mengikuti dengan membawa peralatan yang bahkan Diaz sendiri tidak mengerti untuk apa itu semua.
"Diaz, jangan teriak-teriak gitu, kasian tuh Kakek Rudi jadi kaget." Suster Risha yang sejak tadi menemani Diaz memperingatkan Diaz karena sudah membuat kakek yang tengah kemo di ujung ruangan terlonjak kaget, padahal kakek itu sedikit bermasalah pendengarannya.
"Ah, maaf Kakek Rudi." Diaz membungkukkan sedikit badannya untuk meminta maaf, tapi Kakek Rudi bahkan tidak melirik ke arahnya. Diaz langsung memberengut kesal, Kakek Rudi pasti tidak mendengar permintaan maafnya.
Rashi justru terkekeh melihat Diaz lagi-lagi dimarahi oleh Suster Risha. Sepertinya Suster Risha dan Diaz ini sudah seperti kucing dan anjing, tapi saat Diaz kambuh, Suster Risha lah yang akan sangat panik bahkan pernah menangis saat Diaz masuk ke ICU.
"Ayo." Rashka mengulurkan tangannya, membantu Rashi bangkit dari kursi rodanya dan duduk di ranjang khusus yang sudah disediakan Dokter Aldo untuk kemo Rashi. Rashka juga langsung menarik kursi di ujung ruangan, bersiap menemani Rashi selama proses kemo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Till Last Breath ✔
Fiction généraleJour Pour Moi's Sequel Book of Diaz Diaz, 14 tahun, selalu bermimpi suatu saat komiknya akan ada di toko buku. Ia juga bermimpi bisa bersekolah di tempat terbaik tanpa biaya. Dia berharap bisa segera menghasilkan uang untuk kedua orang tuanya. Sayan...