Sepanjang hidupnya, bahkan hingga kemarin, Diaz percaya kalau keajaiban itu benar-benar ada. Diaz percaya bahwa Tuhan tengah merancang hadiah terindah untuknya. Diaz percaya, suatu saat penyakitnya itu akan menyerah, meninggalkan tubuhnya dan dia bisa kembali ke sekolah bersama teman-temannya. Setidaknya, itulah yang hingga kemarin Diaz percayai.
Sayangnya, pagi ini, ketika ia membuka mata, seluruh kepercayaan itu menghilang begitu saja. Lenyap bersama senyumannya yang tak terlukis sedikit pun sejak ia membuka mata. Diaz kehilangan semangatnya. Bahkan, tanpa mengucap sepatah kata pun, semua orang bisa melihat keputus asaan dari sorot matanya.
"Diaz, makan dulu, ya? Sedikit aja, biar bisa minum obat. Mau, ya?" Ibu hanya bisa menggigit bibir, menahan laju air mata yang sudah mendesak keluar saat ia kembali diacuhkan oleh putra semata wayangnya itu. genap dua jam sudah ia, Suster Risha dan Dokter Nathalie membujuk Diaz untuk makan, tapi anak itu tetap tak bergeming. Pandangannya masih terkunci pada jendela yang bahkan tirainya tak disibakkan.
"Kamu mau lihat pemandangan di luar jendela? Atau mau ke luar? Bilang, Nak. Ibu akan turuti semuanya." Diaz masih diam. Dia tak juga bergerak saat Suster Risha menyibakkan tirai jendela dan membiarkan sinarnya menyerbu masuk.
"Tuh, di luar cerah banget. Mau main robot di luar?"
Tanpa diduga, Diaz menggerakkan kepalanya, menjatuhkan pandangannya pada robot yang tergeletak begitu saja di samping lengan Diaz. Saking terkejutnya, Ibu sampai menahan napasnya, senang akhirnya Diaz mau merespon lagi. Namun, tak disangka, air mata Diaz justru jatuh membasahi tangan robot itu. Deras, persis hujan.
"Diaz? Kenapa nangis?"
"Kak As," lirih Diaz sambil terus menatap robot pemberian Rashi itu. Air matanya menetes di tangan robot itu seperti hujan, deras. Diaz sampai terisak-isak sambil terus membelai robot pemberian Rashi seolah itu adalah Rashi.
"Dok, ini gimana, Dok? Tolong bantu, Dok. Kasian Diaz." Ibu panik, terlebih saat melihat Diaz mulai kesulitan bernapas. Tubuh Diaz yang semula duduk bersandar pada headboard kini sudah beralih dalam dekapan Ibu. Ia mendengar kata-kata Ibu yang menyuruhnya mengatur napas. Ia sendiri pun ingin melakukannya, tapi air matanya tidak berhenti mengalir dan dia tidak bisa mengatur napasnya sendiri.
Dokter Nathalie sedikit panik juga akhirnya. Padahal, ia sudah menyangka akan berakhir seperti ini. tidak ada pilihan lain, Dokter Nathalie akhirnya memberikannya obat penenang dan segera menghubungi Dokter David. Diaz harus diterapi sesegera mungkin.
💊💉💊💉💊💉
"Diaz, jalan-jalan sama saya, yuk?" Diaz yang sejak dua puluh menit lalu terjaga dari tidur paksanya hanya diam sambil menatap Dokter David tanpa mengatakan apa pun. Dokter David justru tersenyum, dia tahu tatapan itu tidak mengandung penolakan. Dengan mudahnya ia mengangkat Diaz dari tempat tidurnya dan meletakkannya di atas kursi roda dengan sangat hati-hati.
"Mau bawa robot itu?" tanya Dokter David menyadari Diaz sejak tadi menatap robot yang ada di atas tempat tidurnya. Alih-alih menggeleng atau mengangguk, Diaz justru menggumamkan nama Rashi yang membuat Dokter David kembali tersenyum.
"Tunggu sebentar, ya?" Dokter David segera mengambil robot itu, tak lupa menyambar selimut yang terlipat rapi di ujung tempat tidur dan memasangkannya di pangkuan Diaz, menutupi pinggang hingga ujung kaki Diaz. Robot yang tadi ia ambil, ia letakkan di atas pangkuan Diaz yang langsung dipeluk erat.
"Oke, sekarang jalan-jalan sama saya, ya?" Diaz tidak merespon, tapi Dokter David tetap mendorong kursi roda milik Diaz. Awalnya melewati lorong yang selalu Diaz susuri, kemudian berbelok ke arah ruang kemo, sampai akhirnya mereka memasuki sebuah ruangan yang tidak pernah Diaz masuki sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Till Last Breath ✔
General FictionJour Pour Moi's Sequel Book of Diaz Diaz, 14 tahun, selalu bermimpi suatu saat komiknya akan ada di toko buku. Ia juga bermimpi bisa bersekolah di tempat terbaik tanpa biaya. Dia berharap bisa segera menghasilkan uang untuk kedua orang tuanya. Sayan...