Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sangkala hujan meruntuhkan dirinya ke hunian berjuta makhluk hidup dan juga mati, akan ada dua jenis subjek yang pasrah dan juga tak pasrah.
Aku berada di antara keduanya. Pasrah untuk kebangkitan yang menyenangkan, juga tak pasrah ketika tahu hal itu sekedar perasaan singkat yang terkontaminasi anti kekekalan. Aku memang selalu terpesona saat gemuruh dan mendung menguasai langit, juga bergembira di bawah tangisannya yang membasahi alam.
Akan tetapi, aku tak pernah kebasahan.
"Oi, Subjek Hujan! Gimana rasanya bersentuhan sama air?" Dari bawah hunianku, terlihat Subjek Angin berputar-putar di rerumputan hijau yang panjang. Aku tak bersuara memandanginya, fokus merasakan rintikan air yang menetes ke tubuhku. "Wohoooo! Yihiiii!" Kemudian Subjek Angin membara kelayapan seperti menyelam dan timbul dalam air, para rumput tergonjang-ganjing merespon hal itu sampai ada yang terpelanting oleh energinya.
"Baa!?"
"Kyaaa!" Aku tergeletak di tanah ketika menghindari kehadiran Subjek Angin yang muncul tepat di depan wajahku.
"Ohooo! Subjek lo bener-bener menyatu dengan bumi ketika hujan turun ya." Subjek Angin yang menyerupai wujud burung elang terbang di depanku dan mengolok-olok. "Lo ngikutin wujud apa sekarang? Kayak ... monyet?" tanyanya.
"Beda." Aku berdiri dan mengibas bulu hitam yang tumbuh begitu rimbun dari kepalaku, panjangnya sampai menutupi leher sesuai analisis subjek yang mau kutiru.
Kalau tidak salah, dua hari yang lalu aku melihat makhluk hidup berkaki dua yang parasnya mempesona dan memikat. Dia terjun dari tebing berketinggian ratusan meter dan mendarat di atas bebatuan yang membuat isi kepalanya meledak dan tercecer di tanah. Pecah cairan merah, muncrat pula ke permukaan batu yang lain.
Saat itu, aku hanyalah sebongkah asap yang tak tampak. Pengangguran yang tak pernah tidur hanya untuk menunggu hujan turun. Ketika melihat sebuah objek yang menarik, aku akan menirunya sebagai subjek yang akan muncul ketika hujan.
Wujudku akan menjadi nyata, dan aku tahu rasanya air. Permukaan tubuhku mampu menyentuhnya, aku peka untuk mewujud. Seperti sesuatu yang kini ada di sebelahku, bentuk kami sama. Punya kepala, struktur wajah, tangan, kaki dan juga tubuh. Bedanya, ibarat kucing punya ekor pendek, maka ada juga yang panjang. Begitu pula sesuatu yang tumbuh di atas kepala kami, aku tak tahu disebut apa, yang pasti miliknya panjang sampai menyentuh tanah. Sementara milikku hanya sampai leher.
Bedanya (lagi), aku dan Subjek Angin bisa melihatnya, bahkan berlaku juga untuk subjek yang lain sejenis kami. Sedangkan dia tidak mungkin melihat kami, itu kelemahan makhluk hidup berkaki dua.
"Kamu enggak kebasahan, ya?" Dia bicara.
"Iya," jawabku membenarkan posisi duduk. "Eh?!" Sekaligus tersadar dengan siapa aku dan dia ini bicara.
Kami pun menoleh, Subjek Angin bahkan masih melayang di depan sahaya berbeda antara aku dan sesuatu di sebelah. Dia lupa akan teman-temannya yang haha-hihi kelayapan di rumput, di mana Hujan turun dengan derasnya dan berhasil membuat makhluk hidup berkaki dua di dekatku basah kuyup.
"Kamu hantu penjaga pohon ini?" Dia bicara lagi, kemudian menoleh ke arah berlawanan —tidak melihat pada Subjek Angin.
Atau ... mungkinkah sebelumnya dia hanya melihatku? Padahal Subjek Angin jelas-jelas sedang mengibaskan energi udara ke arahnya dengan sengaja.
"Kamu bisa lihat subjek? Bisa denger ju ...."
"Huft!" Makhluk hidup berkaki dua di sebelahku menggaruk bagian atas wajahnya. "Enggak hantu, enggak manusia. Semuanya cerewet."
"Hantu?" tanyaku.
Dia mengangguk dengan raut lelah. "Kamu hantu, 'kan?"
»» ««
Hai! Selamat datang di cerita Orlanatha ya. Cerita yang tentu aja enggak ada bedanya dengan tulisan saya yang lain. Terlihat biasa-biasa saja, dengan alurnya yang ringan dan juga retjeh. Meski begitu, saya harap kamu bisa menemukan sisi luar biasanya sesuai dengan sudut pandang kamu sendiri ya. Semoga (juga) kamu tertarik untuk membacanya sampai akhir, meski itu sebuah pilihan, saya akan tetap berterima kasih.