"Memang bukan teman, tapi
keberadaannya tetap dianggap ada."⋇⋆✦⋆⋇
Ini terjadi hanya karena aku mengikuti cara kerja makhluk hidup berkaki dua saat bersosialisasi. Aku tidak tahu caranya menolak sesuatu yang dimohonkan seseorang, meski jauh di analitis relungnya Orlanatha bergema kata TIDAK —alam tak terjangkau itu seakan dibiarkan bersuara di tengah orang-orang tuli.
Tepat pukul delapan malam, pintu rumahku terbuka tanpa isyarat. Aku baru mengetahui itu saat sang pendatang menyuarakan namaku seperti kebiasaan yang dia lakukan. "ANAK DEDEMIT!" Terdengar kasar; begitu kurang ajar; merasa bahwa dialah orang yang paling kutakuti.
Di sini, aku membuat senyumnya mekar saat keluar dari kamar dengan kondisi siap menerima perintah, Gisel tampak begitu bangga. Mungkin dari cara berpakaianku tidak seperti orang yang mau tidur, itu dikarenakan aku memakai celana jeans dan jaket tebal warna hitam.
"Ayo!" Gisel meninggalkan ambang pintu lebih dulu dan berjalan menuju halaman rumah.
Sebelum benar-benar mengikutinya, aku berhenti di depan kamar Cantul dan menoleh ke arah pintunya. "Cantul." Bahkan aku memanggil nama anak tersebut. "Aku keluar dulu, kalo Mami Nyonya pulang, sampaikan aku lagi ada kegiatan sama teman-teman ya," lanjutku.
Aku tidak berharap ada sahutan di sana, jadi aku mulai melangkahkan kaki hingga sebelum sampai ke sengkang pintu, suara Cantul terdengar. "Teman? Teman apanya? Haha." Dia mengejek dari sana, di mana aku ingin sekali mendatanginya detik itu juga.
"Dedemit!" Namun teriakkan Gisel menghalangiku, jadi kubatalkan niat itu dan berlalu keluar rumah menjadi penjelajah gelita.
Ini adalah kedua kalinya bagiku keluar malam. Yang pertama karena kapten Jadenza Putra, dan sekarang karena kapten Jadenza Putri. Mereka datang dengan mobil sport warna silver, busana yang mereka gunakan juga terlihat sama seperti saat mau melakukan balapan dua hari lalu —serba hitam, dan juga modis.
"Mendung, anginnya kencang banget, lo yakin mau tetap malam ini? Gimana kita ganti besok aja?" Ningzi masih seperti siang tadi, omongannya mengarah pada permintaan untuk membatalkan apa yang mau kami lakukan.
"Tapi gue mau malam ini," sahut Gisel, dan kurasa Wiwi pun tak punya wewenang untuk membantah.
Aku dan Ningzi menjadi orang terbelakang yang masuk ke dalam mobil. Kami bertatapan tatkala matanya jadi semakin berbinar dan berkaca-kaca. "Gak usah natap gue dengan makna kasihan!" katanya sebelum bergerak masuk menyusul yang lain.
"Cepat!" Kemudian Wiwi timbul di jendala kaca depan, dia duduk tepat di sebelah Gisel yang tampaknya akan mengemudikan mobil ini. Sementara aku duduk bersebelahan dengan Ningzi di belakang mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
SUBJEK : Transmigrasi Orlanatha
Ficção Adolescente[O N G O I N G | ft. Lee Jeno] ❝ Hal yang paling mustahil di dunia ini adalah saat keinginan dan keputusan selalu bersanding.❞ ©tata2023