ENAM BELAS : Menyeramkan

358 75 13
                                    

"Mengingat sesuatu yang tidakkita inginkan ternyata rasanyasangat menyakitkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Mengingat sesuatu yang tidak
kita inginkan ternyata rasanya
sangat menyakitkan."

»» ««

Kepulanganku kali ini memang tidak sebegitu malamnya seperti kemarin. Tapi terkait seseorang yang menjadi tamu terakhir di rumah, ternyata jatuhnya tetap pada sosok manusia yang sama.

Yaitu Janardana.

Bedanya setelah kami sampai adalah, Janardana ikut masuk ke dalam rumah dan berbaring pada sofa jenis Sectional yang ada di ruang tengah. Letaknya berseberangan dengan pintu masuk kamar Cantul, tempat yang akan menjadi pemandangan paling menonjol saat membuka pintu utama tempat tinggal ini.

Aku disuruh mengurus diri terlebih dahulu tanpa harus memikirkan apa-apa tentang Janardana. Dan yang kutahu setelah setengah jam berlalu, aku melihatnya terlelap dengan posisi tangan seperti memeluk diri sendiri.

Sebagai makhluk hidup berkaki dua, aku punya hasrat manusiawi yang mendorongku agar melakukan sesuatu. Itu adalah bagaimana aku kembali masuk ke kamar untuk mengambil selimut warna ungu muda, lalu kembali mendatangi Janardana yang ternyata sudah berada pada posisi berbeda.

Dia menatapku dengan kedua mata tanpa makna, sambil memijat bahu kanannya dan bersandar pada punggung kursi. "Kenapa lo berdiri di situ? Mana pakai baju putih lagi. Suka banget ya lo mau bikin jantung gue nyebrang keluar badan," tegurnya.

Aku memeluk selimut dengan erat sementara kakiku berjalan ke arahnya. Hingga akhirnya kami duduk berseberangan di mana Janardana melipat tangan di depan dada dan menatapku penuh ketenangan.

"Lo  ... enggak mau tanya sesuatu ke gue?" saran Janardana.

Kepalaku menggeleng agak kaku. "Memang apa yang harus kutanya?" balasku.

Janardana menghela napas. "Seharusnya, setelah hari itu, lo bisa jadi saksi dan kasih tau banyak orang kalo Kesemek meninggal karena  ...." Dia berhenti sambil mengalihkan pandangan ke bawah.

Aku pun menunggu. Tapi tidak ada tanda-tanda kelanjutan dari obrolan itu. Jadi, akulah yang kemudian bicara, "Tadi Kesemek marah." Hal itu membuat kepala Janardana terangkat kembali dan menatapku. "Dia marah ketika aku bilang kalo kamu membunuh dia," lanjutku lagi.

Janardana memang terdiam beberapa saat. "Orla." Lalu tampak senyum pedihnya ingin menggaet perhatianku lebih lanjut, itu seakan mampu menggetarkan isi hatiku. "Harus berapa kali gue ngingetin lo tentang Kesemek? Jangan lakuin hal kayak gini lagi. Meski lo berusaha sampai ular tumbuh bulu sekali pun, enggak akan ada yang percaya dengan omongan lo."

"Lagi?" Aku kaget mendengar itu.

Apa artinya Orlanatha memang sering mencoba bertemu dengan Kesemek?

"Lo sudah janji dengan gue hari itu, Orla. Tapi kenapa dengan bodohnya lo berdiri di tengah jalan dan menunggu truk menghantam badan lo? Gue benar-benar enggak mengerti dengan isi pikiran lo," ujar Janardana lagi.

SUBJEK : Transmigrasi OrlanathaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang