TUJUH : Terpelanting Bersama Anjing

491 124 0
                                    

"Kalau melihat anjing, lari atau diam?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kalau melihat anjing, lari atau diam?"

»» ««

Aku tidak naik bus karena semalam belum punya uang. Namun hari ini, aku berniat untuk menjadi penumpang dengan ikut menangkring di sebuah halte depan sekolah bersama teman-teman yang lain. Sebenarnya tidak bisa disebut sebagai teman, soalnya tidak ada satu pun yang mau berdiri di dekatku.

Makanya aku menempatkan diri di paling ujung, tanpa teman bicara ataupun sapaan. Hal positifnya memang nyaman untuk menjadi begini, tapi negatifnya harus merasakan ketertinggalan karena isi bus terlihat penuh dan sesak. Aku berdiri memandang kelebihan itu dari jendelanya, sehingga kuputuskan tak jadi naik ke situ.

TOLOL!

Kalau tahu begini, mending tadi langsung pulang saja. Segalanya jadi terasa menjengkelkan, andai Ningzi yang lari terbirit-birit keluar area sekolah bersedia di-smackdown, aku pasti akan membuatnya terkapar di tengah jalan.

Sebentar. Ningzi?

"Toloooonnggggg! Aaaaa!" Dia menangis sambil teriak, lalu disusul gonggongan anjing yang hitam dan durjana sedang mengejarnya di belakang.

"Mamaaaaaaa!"

Mulutku terbuka lebar, anjingnya besar sekali! Aku sungguh berdoa agar dia tak ke sini, tapi Ningzi terlanjur melihatku sejak pertama kali melewati gerbang sekolah. Alhasil, dia seperti tentara yang menjalankan misi untuk menangkap musuh bersama anjing. Hal terbodoh yang bisa kulakukan hanyalah berdiri di bangku halte bersama Ningzi yang sudah memelukku dari samping.

Anjing itu memang berhenti di depan kami dengan keberanianku mengulurkan kaki agar dia merasa terancam, sekali dia kali wajahnya berhasil tertendang, tapi gonggongannya terus berlangsung seperti pembaca pidato yang ditonton banyak orang. Sepatuku lepas sebelah ketika kena gigitannya, di mana kami (aku dan Ningzi) sama-sama meronta ketika dia berhasil menggigit  satunya lagi hingga aku kehilangan dua sepatu.

"Kasih sepatu kamu!" seruku pada Ningzi, sambil mengayunkan kaki secara sleboran yang membuat anjing itu mengikuti arahnya ke mana saja. "SEPATUKU UDAH DIAMBIL DUA-DUANYA!" Aku khawatir kena gigit, taringnya panjang-panjang.

"Memang lo kira dia minta sepatu hah? Mamaaaaa!" Ningzi sejak tadi hanya tahu memeluk tubuhku, menutup wajahnya dan teriak-teriak.

"KASIH AJA!"

"ENGGAK! SEPATU GUE MAHAL!"

"KAN BISA BELI LAGI!"

"BELINYA DI AMERIKA!"

Aku merasa tidak mungkin kalau kami terus begini, suasana sekolah juga sepi, entah ke mana penjaga gerbang yang tiap pagi rutin berdiri di depan sana. Ditambah sekolah tak berada di dekat pemukiman, perlu waktu beberapa menit kalau mau ada yang datang.

Masalahnya, Ningzi ketakutan sekali. Aku merasakan sesuatu yang begitu tulus dari dalam dirinya, seakan itu benar-benar menggambarkan makna : aku ingin selamat, tolong bantu aku! Selamatkan aku! Sehingga membuatku berpikir untuk melakukan sesuatu.

SUBJEK : Transmigrasi OrlanathaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang