02 ; Pertemuan.

253 45 0
                                    

Setelah bosan hanya berdiam diri tanpa melakukan apa-apa di kamar, Senadeya memutuskan untuk keluar sebentar. Duduk di taman kompleks dan melihat-lihat sekitar mungkin bukanlah ide yang buruk, dia butuh udara segar agar pikirannya kembali jernih.

"Non? Mau kemana?" tanya sang bibi saat melihat tuan rumahnya dengan cardigan favoritnya berjalan ke arah pintu rumah.

Senadeya menoleh. "Ah, aku mau ke taman di depan ya bi, nanti janji pulangnya nggak kesorean. Dadah!" Ucapnya cepat lalu melangkah keluar dari rumah.

Sang bibi yang belum sempat membalas ucapan sang gadis hanya menggelengkan kepala heran.
    

Dan disini lah sang gadis berada, duduk di kursi taman dengan netranya yang melihat sekeliling

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Dan disini lah sang gadis berada, duduk di kursi taman dengan netranya yang melihat sekeliling. Disini ramai oleh para tetangganya, dia sesekali tersenyum dan menyapa ketika bertemu dengan tetangga yang dia kenali.

Para tetangganya rata-rata sedang bersama keluarganya, banyak sekali anak kecil yang berlarian kesana kemari dan para orang tua hanya mengawasi anak mereka sembari saling berbincang. Yah ... kebanyakan yang datang ibu-ibu untuk bergosip sih.

Senadeya terdiam tatkala melihat sosok anak kecil yang jatuh ketika sedang berlari mengejar temannya, dia baru saja ingin menghampiri dan membantu anak kecil itu namun kedua orang tua anak itu dengan sigap menghampiri buah hati mereka.

Mereka berdua melayangkan pelukan hangat menenangkan pun disertai kecupan-kecupan kecil, berusaha membuat anaknya berhenti menangis kemudian mengajaknya ke salah satu bangku di sana guna mengobati luka sang anak kecil.

Bangku itu tidak jauh dari Senadeya, dari sini Senadeya bisa melihat bagaimana sang ibu yang telaten mengobati luka anaknya dan sang ayah yang baru saja membawakan eskrim agar sang anak berhenti menangis.

Rasa nyeri dan iri menyelimuti hati si gadis, dia ingin sekali diperhatikan seperti itu oleh orang tua nya. Dadanya serasa ditikam belati tak kasat mata, rasa rindu pun juga ikut membuncah dalam dada membuat perasaannya campur aduk.

Hampir saja air mata yang membendung di pelupuk matanya jatuh, tiba-tiba suara lembut namun sedikit berat mengalun di telinga nya.

"Permisi, saya duduk disini, tidak apa-apa?"

Sang gadis menoleh, mendapat eksistensi pemuda berbadan tegak. Hidung bangir, bibir tebal, surai cokelat tua pun kedua bola mata hitam yang indah, paras yang nyaris sempurna.

Senadeya termangu tatkala maniknya tanpa sengaja menatap kedua manik indah itu, kosong. Netra itu indah namun tersirat kekosongan di dalamnya.

"Oh, tentu! Duduk aja, ini tempat umum jadi terserah kamu mau duduk atau nggak," jawab sang gadis dengan sedikit kekehan.

Pemuda itu hanya mengangguk kecil lalu duduk di sebelahnya dengan jarak yang sedikit jauh. Jika orang lain melihat, pasti mereka akan berpikir bahwa keduanya adalah pasangan yang sedang bertengkar.

Kaku sekali, cibir Senadeya dalam hati.

Hening, mereka hanya diam dengan pikiran masing-masing. Karena Senadeya tidak tahan dengan keheningan mereka yang berlangsung sangat lama, dia pun membuka suara, "Kamu tinggal di sekitar sini?"

Lelaki itu menoleh, lalu mengangguk kecil.

Lagi-lagi kedua manik mereka bertemu membuat Senadeya sedikit merasa aneh. Aneh, karena baginya kedua manik itu sangat indah namun kekosongan yang dia dapatkan benar-benar sangat aneh. Jujur saja Senadeya sempat berpikir orang yang di depannya bukan benar-benar "orang" namun itu sangat mustahil sih, jadi dia buang jauh-jauh pikiran bodoh itu.

Senadeya menganggukkan kepalanya mengerti lalu kembali melontarkan pertanyaan, "Baru tinggal disini, ya? Aku nggak pernah liat kamu sebelumnya."

"Dari kecil saya sudah disini, wajar saja kamu tidak pernah liat saya. Saya jarang keluar rumah jika tidak perlu, baru kali ini juga saya ke taman kompleks."

Wow, itu adalah kalimat terpanjang yang dilontarkan dari si pemuda. Senadeya kembali hanya menganggukan kepalanya.

Mereka kembali hening, tidak ada lagi yang membuka suara. Canggung karena mereka tidak saling mengenal sebelumnya dan Senadeya juga bukan tipe orang yang bisa cepat akrab dengan orang lain, tidak seperti Isabelle.

"Kamu sendiri? Sudah tinggal disini sejak lama atau baru saja pindah?"

Tak kunjung mendapat jawaban, sang pemuda mendekatkan dirinya dan melambai tepat di depan wajah sang gadis. "Hey? Kamu masih disini?"

Tindakan pemuda itu membuat Senadeya terlonjak kaget lalu sedikit menjauh, spontan. Dia menggaruk tengkuknya canggung. "Eh maaf."

"Jangan sering melamun, tidak baik."

Senadeya hanya diam, dia tahu kebiasaan melamun tiba-tiba nya bukan kebiasaan yang baik. Namun mau bagaimana lagi, sulit untuk menghilangkannya.

"Kamu tinggal disini sudah lama?" tanya sang pemuda lagi yang dijawab anggukan oleh sang gadis.

Baru saja ingin menjawab pertanyaan sang pemuda, dering telfon dari ponselnya membuatnya mau tak mau harus mengangkat telfon tersebut.

Ternyata, itu telfon dari bibi. Sang bibi sudah menyuruhnya pulang karena sudah semakin sore, dia pun hanya bisa menuruti sang bibi karena sudah menganggap beliau sebagai ibu keduanya.

"Ah maaf tapi aku harus pulang sekarang, senang bertemu denganmu. Sampai jumpa lain kali!" Ucap sang gadis terburu-buru lalu berlari kecil meninggalkan taman yang sudah mulai sepi.

Pemuda itu menatap lekat punggung sang gadis, cantik sekali. Cara gadis itu berbicara, cara gadis itu menatapnya, cara gadis itu berjalan. Mungkin semua yang ada di dalam diri gadis itu cantik.

"Senang bertemu denganmu juga, rembulan."
          

© laviraeth, 2022.

Lacuna ; Jake Enhypen & Seeun StaycTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang