12 ; Nasi Goreng Pak De.

128 28 6
                                    

Sudah sekitar 20 menit kedua insan remaja ini menyusuri jalanan kota Bogor, terik matahari tidak membuat mereka hilang semangat untuk sampai ke tempat tujuan.

Ah, sepertinya hanya untuk sang pemuda. Karena keadaan sang gadis kini sudah sangat kacau. Surai yang dia ikat kini sudah tak karuan, peluh membasahi dahi, pun dengan raut wajah yang sangat menunjukkan kalau sang gadis sudah lelah.

"Bentar, Baskara. Aku capek."

Baskara menoleh dan mendapati Senadeya yang tengah menumpu tangannya di lutut miliknya, sang gadis sepertinya tengah beristirahat sejenak sehabis berjalan cukup jauh ditambah udara yang sangat panas. Dia jarang jalan kaki, kalau kalian ingin tahu. Maka tak heran jika kalau sang gadis tak sanggup jalan jauh di bawah terik matahari seperti saat ini.

Baskara lantas mendekat ke Senadeya dan merogoh sakunya, mengeluarkan sebuah tissue dan mengambil selembaran, setelahnya hasta sang pemuda bergerak menyeka peluh yang membasahi dahi sang gadis.

Senadeya terpaku, bingung ingin bereaksi seperti apa lantaran perlakuan pemuda yang tanpa aba-aba. Badannya kaku seperti tak mampu digerakkan, pun dengan lidah yang kelu dan mata yang tak berkedip sedaritadi. Manik legam miliknya menatap lurus ke arah wajah rupawan Baskara.

Baskara beralih merapikan anak rambut Senadeya yang berantakan, Senadeya tidak melakukan hal apa pun selain menatap wajah rupawan milik sang pemuda.

Bisa Senadeya lihat dengan jelas pahatan wajah tampan karya Tuhan yang diberikan kepada pemuda Baskara ini. Mata hitam legam, hidung mancung, serta bibir merah muda alami  Benar-benar sempurna. Senadeya yakin Tuhan sedang bahagia saat membuat Baskara, pemuda bersurai cokelat tua itu benar-benar tanpa cela.

"Kedip, Rembulan."

Layaknya sihir, ucapan dari pemuda Baskara itu langsung dituruti sang gadis. Senadeya pun tersadar lalu menjauhkan tubuhnya dari Baskara. Dengan ringisan kecil dan tersenyum canggung dia menjawab, "Makasih."

Baskara hanya mengangguk kemudian membalikkan badan. Senadeya yang masih dilingkupi perasaan canggung bercampur malu hanya mengikuti pemuda itu dari belakang. Pipinya memanas, entah alasannya karena cuaca yang panas atau salah tingkah. Senadeya tak mengerti dirinya sendiri.

Jalanan ramai dengan kendaraan yang berlalu lalang, sebenarnya mereka bisa saja menggunakan kendaraan umum seperti bus atau yang lainnya. Namun alih-alih menggunakan kendaraan umum, Baskara lebih memilih untuk jalan kaki saja, hemat uang dan mengurangi polusi, katanya.

Baskara tidak memaksa Senadeya untuk ikut jalan kaki, sebenarnya. Malah tadinya Baskara menyuruh untuk sang gadis menaiki bus atau memesan ojek online, namun Senadeya dengan sifat tidak enak hatinya menolak dan ikut jalan bersama sang pemuda.

Awalnya sang gadis pikir jalan kaki tidak akan seburuk itu, dia bisa berbincang bersama sang pemuda dan dia pikir rumah makan yang diucap pemuda itu tidak jauh dari kompleks.

Namun pikirannya terpaksa dibuang jauh-jauh, karena nyatanya rumah makan yang dituju mereka cukup jauh, buktinya Senadeya kini sudah kelelahan berjalan sejauh ini, dan Baskara juga tidak mengajaknya berbincang sedaritadi. Alih-alih mengajak berbincang, pemuda itu malah berjalan lebih dahulu darinya. Meninggalkannya di belakang, mereka layak orang asing yang tak saling mengenal satu sama lain.

Senadeya kepalang kesal karena kelelahan berjalan, kini dia sudah mulai mendumel dan sesekali mengeluh kepanasan atau lelah.

"Berapa lama lagi sih? Jauh banget, emang nggak bisa makan di tempat lain aja apa?" tanya Senadeya kesal.

"Sebentar lagi sampai. Nggak bisa, saya lagi ingin makan di sana. Lagi, kamu tadi saya suruh naik ojol atau bus tidak mau, ngotot mau ikut jalan kaki saja bareng saya."

Lacuna ; Jake Enhypen & Seeun StaycTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang