"Hai, Rembulan?"
Sang gadis menoleh, mengulas senyuman tatkala netranya menangkap eksistensi sang pemuda yang ditunggunya sedaritadi.
"Halo, Baskara."
Baskara tersenyum kecil lalu duduk tepat di samping sang gadis, hastanya menyodorkan sebuah buku yang sudah dijanjikannya dua hari yang lalu.
"Ah ... makasih, ya? Nanti kalau udah selesai aku kembaliin ke kamu," ucap sang gadis yang dibalas senyuman oleh Baskara.
"Oh ya, kamu datang nggak kemarin kesini?" tanya sang gadis.
"Hm? Tidak kok, saya baru saja mau ke taman tapi hujan. Kamu tidak kesini 'kan kemarin?" tanya Baskara
Sang pemuda berbohong, lebih tepatnya terpaksa berbohong. Dia tidak ingin melihat raut menyesal yang akan menghiasi wajah cantik gadis Rembulan.
"Ah bagus deh. Sama kok, aku juga nggak kesini kemarin," balas Senadeya.
Hening, mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing. Senadeya yang sibuk membaca rangkaian kata di dalam buku, dan sang pemuda yang menatap langit cerah, entah apa yang sedang dipikirkannya.
Kalau boleh jujur, Baskara benar-benar lemas. Duduk selama berjam-jam di taman kemarin saat hujan membuat badannya benar-benar lemas dan suhu badan yang meningkat drastis. Sang pemuda sedang sakit, namun memaksakan diri untuk ke taman hari ini.
Senadeya menyadari gelagat aneh pemuda Baskara itu, dia menoleh dan menatap lamat-lamat wajah sang pemuda. Baru menyadari wajah pucat milik pemuda Baskara beserta peluh di ujung dahi.
"Kamu pucat banget, Baskara. Nggak apa-apa?" tanya sang gadis khawatir.
"Eh? Tidak apa-apa kok, saya cuman kelelahan karena sibuk mengerjakan tugas sekolah saja," balas sang pemuda. Mengukir senyuman agar sang gadis percaya.
Senadeya nampak ragu. "Gitu, ya? Pasti tugas kamu banyak banget, apa nggak mau istirahat aja?"
Baskara menggeleng. "Saya bisa istirahat nanti saat di rumah, kalau saya pulang sekarang kamu nanti sendirian."
Mendengar jawaban sang pemuda, Senadeya terkekeh. "Padahal nggak apa-apa lho kalau mau pulang. Aku udah gede, nggak usah ditemenin kayak gini."
"Atau mau pulang bareng aja? Aku kayaknya mau pulang ke rumah deh, bosen di taman. Kita pulang bareng, yuk?" tawar Senadeya.
Cukup lama menunggu pemuda Baskara itu berpikir, akhirnya sang pemuda setuju dan mereka beranjak dari taman. Berjalan menyusuri jalanan kompleks dengan beriringan.
"Rumah kamu blok apa, Baskara?"
"Blok B, kamu?"
"Wah? Lumayan deket, ya. Aku blok A."
Sang pemuda hanya membulatkan mulutnya. Dirinya sedang berusaha menahan tubuhnya agar tidak tumbang, dia benar-benar lemas. Keringat sudah bercucuran membasahi dahi dan bibirnya yang kian memucat. Kepalanya pening sekali, pandangannya perlahan-lahan memburam pun dengan badan yang sudah tidak sanggup dia topang sendirian.
"Baskara, kam--"
"--Eh?!" pekik sang gadis terkejut, badannya mendadak kaku tatkala tubuh pemuda Baskara jatuh lemas ke dirinya.
Untung saja dia bisa menahan tubuh pemuda Baskara, Senadeya dengan cepat mengecek suhu badan sang pemuda. Panas sekali, gumamnya dalam hati.
Dirinya beralih menyeka bulir-bulir keringat di dahi sang pemuda dan menatap manik pemuda Baskara yang juga menatapnya dengan lemah. "Aduh kamu demam, aku antar pulang ke rumah mu, ya? Harus mau pokoknya," ucap sang gadis. Dia merangkul leher sang pemuda dan membantunya berjalan.
"Rumah mu nomor berapa?"
Sang pemuda yang sudah tidak bertenaga pun pasrah, "Nomor 17."
"Nah, udah. Kamu laper nggak? Kalau laper aku buatin sup."
Sang pemuda yang sudah terbalut selimut tebal menggeleng lemas. "Nggak usah. Kamu pulang saja, Rembulan. Sudah terlalu sore.""Tapi kamu nggak apa-apa aku tinggal sendiri? Mama papa kamu dimana?"
Sang pemuda terdiam sejenak, "Papa lagi kerja, mama saya sudah meninggal sejak saya lahir," ucap sang pemuda.
Sang gadis mendadak kikuk, diam-diam menyesali keputusannya untuk bertanya. Kini, dia jadi canggung sendiri, perasaan tidak enak kepada pemuda Baskara memenuhi hati.
"Aduh maaf kalau pertanyaan aku nyinggung kamu," gumam sang gadis dengan rasa bersalah.
"Tidak apa-apa kok, tidak usah minta maaf."
Hening menyelimuti mereka kembali, sang gadis bingung ingin melakukan apa. Pemuda itu hanya memejamkan mata seperti berusaha untuk tertidur, dia sudah minum obat tadi. Jadi, saat ini Senadeya hanya duduk di sampingnya sembari memainkan kuku tangannya.
"Kamu pulang saja, Rembulan."
Senadeya mendongak menatap Baskara yang memejamkan mata. "Nanti kamu sendirian, siapa yang urus?"
Pemuda itu tersenyum dengan mata yang masih terpejam. "Saya bisa jaga diri sendiri kok, kamu pulang, ya? Bukannya saya mengusir, tapi disini kita hanya berdua. Tidak enak dengan tetangga, dan lagi pula ini sudah terlalu sore."
Sang gadis pun hanya mengangguk, dia bangkit dari duduknya lalu berjalan ke pintu kamar sang pemuda. "Aku pulang, ya? Nanti jangan lupa makan dan minum obat. Semoga cepat sembuh, Baskara."
Setelah memastikan pintu rumah dan pagar milik sang pemuda tertutup rapat, Senadeya pun melangkah pelan meninggalkan rumah pemuda Baskara.
Dirinya melamun dengan kaki yang melangkah pulang pun buku yang dia dekap erat, kejadian tadi berputar tanpa henti di pikirannya.
Rumah pemuda Baskara kosong, tidak ada manusia lain selain dirinya dan pemuda itu disana. Benar-benar kosong, bagaimana pemuda itu bisa tahan?
Belum lagi ucapan sang pemuda yang mengatakan kalau ayahnya sibuk bekerja dan sang ibu yang sudah pergi jauh meninggalkan pemuda itu sedari lahir, pasti sangat menyakitkan tidak pernah bertemu dengan sang ibu. Baskara pasti merasa kesepian selama ini.
Sang gadis tersenyum kecil, merasa kasihan juga benci. Entah mengapa perasaan tidak suka kian muncul dalam relungnya.
Dia hanya- benci melihat sosok lain yang bernasib seperti dirinya, kesepian dan tidak pernah merasa kehangatan keluarga. Menyedihkan, dan sang gadis benci itu.
———
eyyy Deya kok gitu, kasian Baskara-nya :(
© laviraeth, 2022.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lacuna ; Jake Enhypen & Seeun Stayc
Fiksi PenggemarAkhirnya aku mengerti bahwa kebahagiaan itu hanya sekedar delusi, delusi indah yang hanya sementara. Aku mengerti bahwa perpisahan adalah konsekuensi dari segala pertemuan. Sekarang, aku mengerti bahwa manusia akan selalu berakhir dengan dirinya sen...