05 ; Bahagia Sang Rembulan.

146 44 0
                                    

Hujan kini kembali membasahi kota dengan derasnya. Bau petrikor menguar masuk menusuk indera penciuman. Sang gadis menatap buliran-buliran air yang menetes ke tanah, menghirup dalam-dalam bau petrikor yang sudah menjadi candunya.

"Kangen mama papa," lirih sang gadis tiba-tiba. Raut wajah sedih nampak membuat siapapun yang melihat ikut merasa sedih.

Seharusnya sore ini dia pergi ke taman untuk meminjam buku sang pemuda yang telah dijanjikan. Namun ketika dia baru saja ingin beranjak dari rumah, bulir-bulir air hujan mulai berjatuhan dengan deras membuat dia mengurungkan niatnya.

Disini lah dia berakhir, duduk di kursi balkon kamarnya menatap derasnya hujan dan merapalkan doa agar sang pemuda tidak nekat menerobos. Dia belum mengenal sang pemuda, belum tahu baik sifat pemuda itu. Siapa tau sang pemuda nekat menerobos derasnya hujan, tapi tidak mungkin sih.

Berjam-jam dia menunggu namun hujan belum kunjung reda, sang gadis pun memutuskan untuk masuk ke kamarnya dan berniat untuk berkutat dengan materi yang dia pelajari hari ini di sekolah. Namun ponsel di nakas yang menyala menampilkan nama Mama membuatnya dengan cepat meraih ponsel tersebut lalu mengangkatnya.

"Halo, ma?" tanya Senadeya, letup-letup rasa bahagia terasa dalam dada. Senang karena sang ibu memiliki waktu untuk menelfonnya.

"Hai, Deya sayang. Kamu apa kabar disana? Baik-baik aja 'kan nak?"

Suara lembut yang dia rindukan mengalun masuk ke dalam telinga, dia rekam baik-baik suara itu dalam ingatan dengan harap semoga saja dia bisa mendengarkannya kembali langsung tanpa bantuan ponsel.

"Baik dong, ma. Mama dan papa gimana kabarnya disana?"

"Lumayan baik, perusahaan ada struggle sedikit tapi untung aja papa mu bisa handle. Oh ya, maaf kami nggak sempat sisihkan waktu ketemu sama kamu, ya? Doakan mama dan papa bisa cepat pulang dan bisa habisin waktu bareng kamu. Mama kangen putri kecilnya mama."

Kata demi kata yang dilontarkan sang ibu membuat letupan bahagia semakin terasa di dada, semburat merah muncul di pipi sang gadis. Air mata yang menggenang seperti siap terjun kapan saja, rasa euforia ini benar-benar menyenangkan. Senadeya harap, dia bisa memiliki kekuatan super untuk menghentikan waktu sejenak, tidak ingin perasaan euforia ini cepat-cepat selesai.

"Iya, Deya juga kangen mama papa," jawabnya menahan tangis.

"Deya ... disana lagi hujan deras, ya?"

"Iya ma, dari sore tadi. Ini sekarang Deya mau belajar."

"Loh? Mama ganggu kamu, ya? Yasudah belajar dulu aja nak, nanti mama telfon lagi kalau sempat, ya?"

"Eh Deya bisa tunda belajarnya kok, jangan matiin dulu please, Deya masih kangen," rengek sang gadis.

Tawa lembut terdengar dari seberang sana, "Iya, nggak mama matiin dulu."

"Papa lagi sibuk nggak ma? Deya mau ngobrol sama papa."

"Papa mu lagi mandi, nanti mama kasih ke papa kalau udah selesai. Sekarang ngobrol sama mama dulu, ya."

Mereka pun berbincang, membicarakan banyak hal. Senadeya banyak menceritakan kehidupan sekolahnya, entah itu tugas ataupun teman. Dia ingin membahas apa saja dengan sang mama, layaknya anak kecil yang mengadu tentang hari-harinya kepada sang ibu.

Setelah setengah jam berbincang, akhirnya sang ayah sudah selesai membersihkan diri. Mereka berdua saling mengucapkan kata rindu, berbincang perihal keseharian masing-masing dan sesekali saling melemparkan candaan . Walau hanya sebentar karena sang ayah harus kembali beristirahat, cukup lelah dengan urusan pekerjaan yang tidak ada habisnya.

Walau singkat, Senadeya amat sangat bersyukur. Momen langka seperti ini harus dia rekam baik-baik dalam ingatan, pun karena rasa bahagia dia lupa akan kekhawatiran terhadap pemuda Baskara.

Dia sedikit panik ketika kembali teringat, dengan buru-buru dia mengambil kembali ponsel yang dia taruh lalu mencari-cari kontak pemuda Baskara. Namun beberapa detik setelahnya, dia menepuk pelan dahinya.

Bisa-bisanya dia lupa, dia kan tidak punya kontak sang pemuda.

Senadeya pun menyimpan kembali ponselnya, dengan pikiran yang mulai berkecamuk, dia berusaha menenangkan dirinya.

Dia pikir, sang pemuda itu tidak mungkin menerobos hujan dan menunggu sampai semalam ini hanya untuk dirinya. Setelah merasa lebih tenang, dia pun kembali membuka buku miliknya, mempelajari ulang materi-materi yang ada disana.

Namun siapa sangka, rupanya sang pemuda benar-benar nekat menerobos hujan dengan berbekal payung dan hoodie abu miliknya.

Duduk di kursi taman tempat dia pertama kali bertemu dengan sang gadis. Tubuhnya tetap duduk tegap meski hawa dingin menusuk masuk lewat kulit putihnya. Namun, dia tetap dalam pendirian. Takut kalau saat dia kembali, sang gadis datang menunggunya disini sampai larut malam.

Salahnya karena tidak meminta nomor sang gadis, kalau sudah begini mereka jadi sulit untuk berkomunikasi.

Sekarang sudah semakin larut dan belum ada tanda-tanda sang gadis yang akan datang. Hujan pun kian mereda, dirinya memutuskan untuk kembali ke rumah. Mungkin saja sang gadis ada urusan mendadak yang tidak bisa ditinggalkan. Dia berjalan menyusuri jalanan perumahan dengan tubuh bergetar akibat kedinginan, hoodie yang dipakai tidak menghambat hawa dingin untuk menusuk kulit. Tapi tidak apa-apa, dia bisa menahannya.

Semoga saja dirinya baik-baik saja esok hari, dia tidak ingin membuat sang gadis menunggu di taman sendirian seperti yang dia rasakan.

        
© laviraeth, 2022.

Lacuna ; Jake Enhypen & Seeun StaycTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang