PAGI ini Baskara berencana untuk memancing bersama senior-senior di kantornya. Meninggalkan anak dan suaminya di rumah.
Aziel tengah duduk di salah satu kursi yang tersedia di halaman belakang rumahnya. Menemani Dikara yang tengah menyirami tanaman.
"Pipi, kenapa langit itu warna biru?" Aziel secara tiba-tiba angkat suara.
"Ya?" Dikara mengalihkan atensinya dari tanaman yang tengah ia siram.
"Kenapa langit itu warnanya biru, Pi?" tanya Aziel sekali lagi yang membuat Dikara sedikit terkesima dengan pertanyaan si anak.
Dikara menelan ludahnya. Jujur, jika Aziel mengajukan pertanyaan seperti ini ia kelimpungan sendiri. "Maaf ya, Sayang. Pipi nggak tau. Nanti kita belajar bareng Papa juga, ya..." ujar Dikara seraya mengusap pipi Aziel.
Meski rasa penasarannya belum terpenuhi, namun Aziel dapat mengerti bahwa pertanyaannya ini di luar kapasitas Pipinya.
Kejadian seperti ini tak terjadi sekali dan dua kali. Entah Dikara atau Baskara pernah merasa kesulitan untuk menjawab pertanyaan sang anak. Biasanya bila mereka merasa buntu, keduanya akan berkata bahwa mereka akan belajar bersama untuk mencari tahu jawabannya.
Pun mereka memberikan Aziel pemahaman bahwa bila mereka tak dapat menjawabnya, bukan berarti kedua orang tuanya itu bodoh. Hanya saja kedua orang tuanya belum mempelajari hal tersebut, sama sepertinya.
Sudah pernah dikatakan bahwa Aziel adalah anak yang kritis. Pertanyaan-pertanyaan yang ia lontarkan terkadang membuat kedua orang tuanya pening. Seperti, bagaimana terjadinya hujan? atau Bagaimana mobil bisa bergerak?
"Nanti kita belajar sama Papanya di meja makan boleh nggak, Pi? Adek mau belajarnya sambil mam kue." pinta Aziel.
"Boleh," Dikara mengusap surai sang anak. "Adek mau makan kue apa?" lanjutnya.
"Pengen kue yang kemarin Pipi bikin ituu." ujar Aziel.
"Oh, kue bolu?" tanya Dikara yang dijawab anggukan oleh Aziel. "Huum! Adek mau bolu bolu nyam nyam!" ucap Aziel.
Dikara terkekeh pelan. "Yaudah, ini Pipi bikinin kuenya sekarang, ya? Adek mau bantuin atau mau main?"
"Maiinn!" seru Aziel.
Dikara yang gemas melihat kelakuan sang anak mencubit pelan pipi gembil Aziel. "Bener-beneeer, ya! Yaudah sana gih main, jangan jauh-jauh tapi."
Aziel mengangguk dengan cengirannya. "Pipi Adek mau main mobil, ya." izin Aziel.
Dikara mengangguk. "Iya, di depan aja mainnya. Jangan kemana-mana." peringatnya.
Aziel mengangguk paham. Ia segera pamit pada Dikara dan menyambangi mobil kecilnya yang berada di teras rumah.
Mulanya memang Aziel hanya bermain pada daerah teras rumahnya, kemudian ruang tamu, dan berputar lagi kembali menuju teras. Namun, saat ia mendengar suara sirine penjual roti, ia jadi tertarik ingin membeli roti tersebut.
Ia segera mengambil uang di dalam kotak yang berada di atas nakas sudut ruang tamu. Kedua orang tuanya sengaja menaruh uang receh di situ dan Aziel sudah memahaminya.
Setelah mengambil uang, ia kembali menaiki mobil tersebut dan melajukan mobilnya keluar rumah, menyusul sang penjual roti.
Jalanan komplek perumahannya cukup sepi, sehingga membuat si tukang roti tak berhenti. Mobil-mobilan yang dikendarai oleh Aziel tidaklah dapat melaju dengan cepat. Ia jadi tertinggal cukup jauh oleh penjual roti itu.
Aziel melihat sang penjual roti berbelok ke di ujung gang, entah kemana. Tapi yang jelas, ia masih mengikutinya.
Sedangkan di rumah, Dikara merasa cukup janggal karena tak mendengar suara mesin mobil-mobilan milik Aziel. Ia segera berjalan menuju teras untuk mengecek anaknya.
"Adek?!" Dikara mulai panik saat tak mendapati sang anak di teras rumahnya.
"Aziel?!" Dikara mulai mencari anaknya di setiap sudut rumah. Kamar mandi, kamar tidur, halaman belakang, hasilnya nihil. "Aziel Kusuma Wirjawan!!!" Dikara berteriak panik memanggil anaknya kala tak mendapati anaknya di dalam rumah.
Tanpa berpikir panjang, ia segera berjalan keluar rumah. Ia berjalan ke sembarang arah, entah kemana tujuannya. Yang jelas di kepalanya hanya tertera cari Aziel!
"Aziel!" Dikara berteriak memanggil nama sang anak seraya berjalan dan menoleh ke kanan dan ke kiri. Tubuhnya gemetar, ia takut sekali.
"Mas Kara, kenapa, Mas?" salah satu tetangganya yang berada di luar rumah bertanya.
"Anu, Budhe... Budhe liat Aziel gak? Tadi dia main mobil-mobilan di depan rumah, tapi sekarang nggak ada..." dengan suara gemetar, Dikara menjelaskan.
"Waduh, nggak liat aku. Ayo sini aku bantu cariin." ujarnya seraya bergegas menemani Dikara mencari Aziel.
"Udah kabarin Baskara?" tanyanya yang dijawab gelengan kepala oleh Dikara. "Belum sempet," ucapnya sekenanya.
Keduanya menyusuri tiap-tiap gang yang ada pada perumahan tersebut, namun lagi-lagi hasilnya nihil. Dikara rasanya ingin menangis kala ia harus kembali ke rumah tanpa menemukan Aziel.
Suara mesin yang terdengar familiar terdengar pada rungu Dikara saat ia ingin berbelok menuju rumahnya. Ia buru-buru mendekat ke sumber suara.
Jantungnya terasa mencelos kala melihat Aziel dengan santainya mengendarai mobil-mobilan tersebut.
"AZIEEL!!" Dikara berteriak membuat Aziel menoleh. Tentu ia terkejut saat melihat sang Pipi yang berlari kecil ke arahnya dengan raut wajah yang... menyeramkan.
"Adek... Kamu kemana aja, Nak... Ya ampun Pipi cariin..." Dikara segera memeluk tubuh mungil Aziel. Ia mengecupi pucuk kepala sang anak.
"Adek tadi mau beli roti, Pi. Tapi abangnya jalan terus." jelasnya seperti tanpa beban.
"Adek lain kali kalo mau apa-apa kasih tau Pipi, ya? Biar Pipi nggak khawatir nyariin kamu..." tutur Dikara yang membuat Aziel mengangguk.
"Ya ampun... Adek mau roti? Nanti Budhe bawain, ya. Budhe punya banyak." tetangga Dikara itu membuka suara. Ia juga sempat merasa khawatir pada si kecil.
"Boleh, Pi?" tanya Aziel memastikan. Dikara mengangguk dan mengusap pipi gembilnya. "Mau, Budhe." ujar Aziel yang membuat tetangganya itu segera kembali ke rumah untuk mengambil roti untuknya.
Dikara mengusap pucuk kepala Aziel dengan lembut sebelum akhirnya mengecup pipi sang anak. Terima kasih Tuhan masih memberi kesempatan Dikara untuk merawat Aziel.
catatan:
jieeeellll mainnya jangan jauh jauh jieeell. dicariin pipi jieeeelll. 😩
KAMU SEDANG MEMBACA
KARAKARA [NOMIN] | END
FanfictionKisah ini dimulai saat Dikara, seorang auditor dari Badan Pemeriksa Keuangan RI, tersesat di kawasan Badan Tenaga Nuklir Nasional saat ia tengah mengaudit bagian keuangan lembaga tersebut. Dari kecerobohannya tersebut, haruskah ia bersyukur atau kab...