tahun ke delapan pernikahan.
PAGI ini di kediaman Baskara dan Dikara diwarnai sedikit percikan-percikan api yang meletup. Pasalnya, salah satu dari dua kepala keluarga rumah tesebut tengah melancarkan aksi mengomelnya pagi ini.
"Pipi 'kan udah bilang berulang kali, kalo hari sekolah tuh jangan tidur malem, jangan tidur malem. Masiiiiih aja tidur malem. Ngapain aja sih tidur malem-malem gitu tuh? Udah tau hari ini sekolah. Jadinya susah 'kan tadi di banguninnya." mulutnya berceloteh, tubuhnya sibuk mondar-mandir kesana kemari dengan tangan yang cekatan menyiapkan sarapan.
"Adek! Pipi nanya. Kok nggak di jawab?" Dikara kembali mengangkat suara.
"Abis main game, Pi..." jawab Aziel dengan lesu.
Dikara menghela napas kesal. "Emang gak bisa apa udahan main game-nya sebelum jam sepuluh? Udah Pipi bilang berulang kali jangan tidur malem, apa lagi cuma buat main game. Liat hasilnya? Tadi Pipi bangunin susaaaah banget. Kenapa sih kalo Pipi omongin tuh selalu masuk kuping kiri keluar kuping kanan?"
Hening kembali Dikara dapatkan sehingga ia kembali menodong pertanyaan pada sang anak. "Adek. Denger gak kalo Pipi ngomong?" lirikan tajam Dikara layangkan pada Aziel yang berada di meja makan.
"Iya, Pi." jawab Aziel.
"Dari kemarin iya iya aja, tapi di lakuin lagi, di lakuin lagi." keluh Dikara.
Aziel menghela napasnya. "Salah lagi..." ia berbisik. Namun, Baskara yang duduk di sebelahnya dapat mendengar keluhan sang anak dengan jelas. Baskara terkekeh setengah mendengus, kemduian ia mengusak pucuk kepala Aziel.
"Udah, Pi. Kasian Aziel." Baskara angkat suara.
Dikara menghentikan aktifitasnya dan melirik Baskara dengan tajam. "Apa?!"
Baskara terkekeh pelan saat mendapatkan lirikan tajam dari suaminya. "Udah, nggak baik marah-marah terus." tegur Baskara dengan lembut.
"Kamu tuh. Selaluuu aja. Aku marah-marah begini juga buat kebaikan Adek. Kalo dia sakit gara-gara keseringan begadang gimana? Dia sendiri nanti yang repot. Emang sakit tuh enak? Enggak." terang Dikara panjang lebar.
Baskara mengangguk tipis. "Iya, aku ngerti. Tapi udah, ya? Kasian Adek kamu omelin gitu." ujar Baskara seraya merangkul pundak sang anak.
Alih-alih menjawab, Dikara hanya dapat menghela napasnya. Kemudian ia melanjutkan aktifitasnya menata makanan di atas meja.
"Maafin Adek ya, Pi." Aziel berujar.
"Iya." jawab Dikara setengah hati. Pasalnya ia masih kesal dengan kebiasaan buruk sang anak.
Baskara mengusak pucuk kepala Aziel untuk menenangkan sang anak. Senyuman hangatnya juga tak lupa ia terbitkan agar sang anak merasa sedikit lebih tenang.
"Makan." Dikara berujar pada Aziel dengan nada yang sedikit ketus. Setelahnya, pria dengan balutan kemeja warna biru muda itu duduk di sebelah sang anak.
"Mulai besok tidurnya balik lagi ke kamar Papa sama Pipi, ya." dari nada bicaranya, terdengar bahwa ucapan Dikara merupakan perintah mutlak.
Bola mata milik Aziel melebar. "Nggak maauuu! Adek udah gede, udah kelas delapan! Malu ah kalo masih tidur sama Papa Pipi." protes dari si tunggal Kusuma dan Wirjawan tak terelakkan.
"Biarin! Biar tidur cepet." tukas Dikara tanpa memperdulikan sang anak. "Cepet makannya di abisin. Nanti telat masuk sekolah." ucapan Dikara seakan menjadi final yang membuat Aziel tak bisa berkutik.
KAMU SEDANG MEMBACA
KARAKARA [NOMIN] | END
FanfictionKisah ini dimulai saat Dikara, seorang auditor dari Badan Pemeriksa Keuangan RI, tersesat di kawasan Badan Tenaga Nuklir Nasional saat ia tengah mengaudit bagian keuangan lembaga tersebut. Dari kecerobohannya tersebut, haruskah ia bersyukur atau kab...