BULIR hujan turun berbondong-bondong membasahi ibu kota malam itu. Seakan membantu meluruhkan segala keluh agar bermuara pada proses pendewasaan. Baskara duduk dengan nyaman pada sofa kediaman keluarga Dikara seraya memperhatikan rintik hujan dari balik jendela. Gelapnya malam dengan derasnya air hujan cukup membahayakan untuk berkendara.
Setelah Dikara mengutarakan isi hatinya tadi, mereka segera berkendara menuju rumah Dikara. Namun, di tengah jalan hujan turun dengan cukup deras. Membuat Baskara berakhir melipir sejenak di rumah si anak tunggal Ariawan dan Yuzia.
"Nginep sini aja, Bas. Udah tengah malem gini, bahaya nyetir sendirian. Mana rumah kamu jauh." Yuzia mengusul.
Ariawan mengangguk setuju. "Tidur sini aja, Bas. Itu ada kamar tamu kosong. Gih, istirahat di situ aja."
Ada perasaan sungkan untuk menerima tawaran tersebut, namun keadaan seakan memaksanya untuk menerima. "Ngerepotin gak, Pa? Ma?" tanyanya.
Pertanyaan Baskara baru saja membuat Ariawan mendengus. "Alaah, segala mikir ngerepotin apa nggak. Gih sana, pinjem bajunya si Adek aja ntar." ujarnya seraya beranjak dari duduk dan menepuk-nepuk bahu Baskara. "Papa tidur duluan, ya. Dingin-dingin enaknya kelonan." lanjutnya seraya tertawa atas guyonannya sendiri.
"Wah, Papa nih emang paling bisa." canda Baskara.
"Emang nih, udah tua, masih aja." Yuzia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Mama tidur duluan ya, Bas."
Baskara mengangguk. "Iya, Ma, Pa. Babas nginep di sini, ya. Makasih." ujarnya yang dibalas anggukan oleh kedua orang tua Dikara.
Tak lama setelah kedua orang tua Dikara naik ke lantai dua menuju kamarnya, Dikara turun dari lantai dua. Kini ia telah berbalut piyama abu muda. Riasan pada wajahnya pun telah bersih, serta rambutnya yang tak lagi tertata ke atas memperlihatkan dahinya. Ia menuruni anak tangga dengan membawa piyama hitam di tangan kanannya.
"Nginep, 'kan?" Dikara melempar pertanyaan retoris seraya tersenyum lebar. Tentu saja ia tahu Baskara berakhir menginap di rumahnya karena sang ibu telah memberitahunya saat ia tengah bebersih tadi.
Baskara mengangguk. "Iya, aku tidur di kamar tamu."
"Kenapa gak di kamar aku aja?" lagi-lagi Dikara melontarkan pertanyaan retoris. Ia meletakkan piyama hitam untuk Baskara di meja sebelum akhirnya ia merebahkan tubuhnya di sofa dengan kepalanya yang berada di paha kanan Baskara.
Baskara terkekeh pelan. Ia memainkan surai halus milik Dikara. "Kamu nih," telunjuknya menowel hidung Dikara.
Kali ini giliran Dikara yang terkekeh pelan. Kemudian ia memejamkan matanya saat ibu jari Baskara mengusap dahinya.
"Aku boleh gak kangen sama kamu?" tanya Dikara dengan mata yang terpejam.
"Boleh," jawab Baskara.
Dikara membuka kedua matanya. Pijar cokelat bagaikan lelehan cokelat itu menatap Baskara dengan pandangan sendu. "Aku kangen sama kamu."
Ujung bibir Baskara tertarik membuat senyuman tipis. "Sama, kangen juga."
Senyuman manis milik Dikara terbit mendengarnya. Ah, Baskara juga merindukan senyuman kesukaannya itu. "Aku boleh peluk gak?"
"Tadi 'kan udah," jawab Baskara yang membuat senyum Dikara luntur. Baskara terkekeh gemas melihatnya. "becandaa. Sini peluk." lanjutnya yang membuat senyum Dikara kembali mengembang. Pria bertubuh ramping itu segera bangun dari tidurnya dan duduk di pangkuan Baskara.
Ia mengalungkan kedua lengannya pada leher Baskara, kemudian menyembunyikan wajahnya pada perpotongan leher pria yang memangkunya. Ia mendekapnya cukup erat, melepaskan kerinduan yang tak pernah diberi asupan selama ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
KARAKARA [NOMIN] | END
FanfictionKisah ini dimulai saat Dikara, seorang auditor dari Badan Pemeriksa Keuangan RI, tersesat di kawasan Badan Tenaga Nuklir Nasional saat ia tengah mengaudit bagian keuangan lembaga tersebut. Dari kecerobohannya tersebut, haruskah ia bersyukur atau kab...