BASKARA memarkirkan mobil miliknya pada pinggir trotoar yang membataskan antara jalanan dan pantai. Tadi, Dikara mengeluh ingin melihat pantai karena selama di Papua ia tak sempat berjalan-jalan.
"Ayo turun." ujar Baskara seraya melepaskan safetybelt miliknya.
Dikara menggeleng pelan. "Buka kaca jendelanya aja biar ada bau-bau pantai. Aku pengen boboan sambil di peluuk." ujarnya seraya beranjak dari duduknya, beralih pada pangkuan Baskara.
Senyum kecil terbit pada wajah tampan Baskara. Ia segera memundurkan kursi kemudi agar Dikara tak terhimpit dan merendahkan punggung kursi agar mereka lebih nyaman. Kemudian Baskara membawa tubuh lelah sang pujaan hati ke dalam pelukan hangatnya. Ia membubuhi pucuk kepala Dikara dengan kecupan-kecupan ringan seraya jari telunjuknya menekan tombol agar kaca jendela mobilnya terbuka.
Aroma pasir pantai bercampur dengan air laut yang sangat khas mulai menyapa indera penciuman keduanya. Dikara memejamkan matanya dan mendusal nyaman karena merasakan kehangatan pelukan Baskara yang dipadukan dengan aroma khas pantai yang menenangkan pikiran.
Diam-diam Baskara susah payah meraih paper bag yang berada di belakang kursi kemudi.
"Ra? Tidur?" tanyanya seraya mengusap pipi Dikara yang berada di atas tubuhnya.
"Hmm, nggak..." jawaban Dikara membuatnya terkekeh. "Bangun bentar mau, ya?" tanya Baskara yang membuat Dikara dengan malas-malasan menuruti permintaan Baskara.
Baskara kembali menegakkan kursi kemudi, membuat Dikara yang berada di pangkuan Baskara mengernyit bingung atas perilaku Baskara. "Mau ngapain?" tanyanya heran.
Alih-alih segera menjawab, Baskara tersenyum hangat dan membelai pipi Dikara dengan sangat lembut. "Ra, kita udah sama-sama dewasa, udah bukan waktunya kita lagi buat main-main," Baskara menyelipkan surai Dikara yang sedikit memanjang pada telinga bagian belakang dengan lembut. "kamu mau nggak serius sama aku?" tanyanya seraya menatap Dikara pada netranya.
Jantung Dikara rasanya ingin meledak saat ini juga. Kelopak matanya yang sedari tadi terasa berat, kini terbuka dengan lebar. Tubuhnya menegang, demi Tuhan ia sangat sangat terkejut. "Bas..."
Baskara membuka kotak yang berisi jam tangan berwarna perak tersebut. "Aku kasih kamu ini dulu, kalo kamu mau serius sama aku, nanti kita cari bareng-bareng cincin buat kita."
Dikara cepat-cepat menganggukan kepalanya. "Mau! Mau! Mau!" jawabnya antusias dengan wajah memerah menahan tangis.
Helaan napas lega terdengar dari bilah bibir Baskara. Ia tersenyum hangat dan berujar; "Makasih, ya." seraya menyematkan jam tangan tersebut pada pergelangan tangan kiri milik Dikara.
"Lucu banget, aku di lamarnya pake jam." Dikara berkomentar seraya terkekeh.
Baskara tersenyum hangat. "Biar kamu nggak lupa waktu, terutama pas lagi kerja. Apa lagi ini dari aku, jadi kamu inget ada aku yang butuh waktu kamu."
Pipi Dikara memerah mendengarnya. Rasanya senang sekali bila ada orang lain yang memperhatikan hal-hal kecil yang ada pada dirinya. Ia segera memeluk tubuh Baskara, "Makasih, Bas." gumamnya.
"Makasih juga, Sayang." jawab Baskara seraya mengecup pelipis Dikara.
KAMU SEDANG MEMBACA
KARAKARA [NOMIN] | END
FanfictionKisah ini dimulai saat Dikara, seorang auditor dari Badan Pemeriksa Keuangan RI, tersesat di kawasan Badan Tenaga Nuklir Nasional saat ia tengah mengaudit bagian keuangan lembaga tersebut. Dari kecerobohannya tersebut, haruskah ia bersyukur atau kab...