sebut ini delapan

3.1K 513 65
                                    

TERHITUNG sudah enam hari tanpa bisa mendengar suara Dikara selama biasanya membuat Baskara cukup frustasi. Ia menghela napas pelan kala melihat fotonya bersama Dikara dari balik layar ponselnya. Jujur, ia merindukan sosok Dikara.

Selama ia berteman baik dengan kerinduan tiada akhir belakangan ini, kepala Baskara terasa ingin meledak karena terlalu banyak merenung.

"Jelek banget sih Mas, mukanya." Bahtera berkomentar melihat wajah kusut Baskara.

Baskara hanya terkekeh pelan, ia mengusak surai sang adik dan beranjak ke kamarnya untuk melakukan rutinitas yang telah ia lakukan seminggu kebelakang. Ia duduk di hadapan meja kerjanya, mengambil buku catatan dan mulai mencari halaman yang terakhir ia isi.

Ia mengambil pulpen beserta kalkulator. Kembali mencorat-coret dengan tulisan-tulisan yang cukup berantakan, serta menghitung angka-angka yang terdapat pada buku catatannya. Ia menghitung ulang angka-angka yang hasilnya selalu sama.

Ia menghela napas pelan, kali ini ia harus membulatkan semuanya.

Diliriknya kembali deretan angka-angka tersebut sebelum akhirnya ia beranjak turun untuk kembali menemui keluarganya yang malam itu tengah berkumpul menonton bersama.

"Pak, Bu, Babas mau ngomong," ujarnya dengan suara yang sedikit bergetar. Degup jantungnya berdetak tak karuan.

"Sini, mau ngomong apa, Mas?" Laras menepuk bagian sofa yang kosong; mempersilakan Baskara untuk duduk.

Berulang kali Baskara menghela napas dalam-dalam dan membuangnya secara perlahan guna menenangkan dirinya. Ia berdeham pelan sebelum mulai angkat bicara.

"Anu, Pak, Bu, Babas 'kan udah ngitung-ngitung pendapatan Babas, pengeluaran Babas, semuanya udah Babas itung bener-bener. Babas ngerasa udah stabil finansialnya." Baskara meneguk ludahnya susah payah sebelum melanjutkan bicara. "Babas juga udah mikirin semuanya mateng-mateng, dan Babas ngerasa semuanya udah stabil, udah aman,"

"Semuanya gimana maksudnya, Bas?" Baharudin bertanya, sedikit kesal dengan anaknya yang berbicara bertele-tele.

"Mental Babas, keluarga kita," Baskara berdeham pelan sebelum melanjutkan dengan suara pelan, "mental dan keluarga Dikara..."

"Oh, Mas Babas mau nikahin Kak Kara?" Bahtera yang berada di sana berceletuk dengan polosnya. Membuat Baskara dilanda panik dan gugup. Ia mengangguk kaku.

Laras terkekeh mendengarnya. "Ya ampuuuun, anak lanangku... Pantes grogi ngomongnya."

"Hehe... Iya, Bu... Itu..." Baskara mati kutu rasanya. Ia terlihat sangat bodoh karenanya.

"Bagus kalo kamu serius. Bapak yakin sama kamu." Baharudin mengangguk-anggukan kepalanya. Ia paham luar kepala mengenai karakter anaknya, sehingga saat Baskara berbicara seperti ini rasanya ia cukup terkejut, namun tak terlalu terkejut. Ia yakin Baskara telah memperhitungkan dan mempersiapkan semuanya dengan baik.

"Anak Ibu udah besar..." senyuman hangat terbit pada wajah Laras. Ia mengusap punggung si sulung dan memeluknya. "Semoga jodoh, semoga di lancarin ya, Nak..."

"Amin. Makasih Ibu..." Baskara membalas pelukan sang ibu. Perasaannya tak dapat ia jabarkan, namun yang jelas ia sangat bersyukur dan bahagia.

Tetes air mata penuh haru mulai membasahi pakaian yang Baskara kenakan. Rasanya seperti baru kemarin Laras melahirkan si sulung. Perjuangannya saat sembilan bulan mengandung, melahirkan, dan membesarkan anaknya hingga saat ini bukanlah hal mudah. Jika Laras boleh jujur, cukup berat rasanya untuk melepaskan sang anak pada keluarga barunya kelak. Di matanya, Baskara masihlah anak bayi yang belum mengetahui apapun tentang dunia.

KARAKARA [NOMIN] | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang